Mohon tunggu...
wahyu setiawan
wahyu setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa program doktor ilmu syariah iain metro

pemerhati hukum Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

FATWA: mengetuk pintu ijtihad yang 'tertutup'

14 Desember 2024   08:23 Diperbarui: 14 Desember 2024   08:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto naskah pasca tragedi merapi (sumber: koleksi pribadi yoe))

Fatwa sebagai salah satu produk hukum Islam memiliki karakteristik yang dinamis. Fatwa merupakan kreativitas intelektual muft dari hasil penelaahan ketika menghubungkan realitas konkrit dan partikular dengan teks keagamaan. Pada kondisi inilah terjadi pergulatan dalam kedirian muft. Pergulatan dengan kondisi sosial termasuk afiliasi masyarakat pada bidang fiqh, teologi, maupun sufisme. Begitu pula pergulatan dengan turth berupa warisan pemikiran hukum ulama terdahulu sekaligus kecenderungan hukum muft (subjektivitas internal) itu sendiri. Hendrickson pada saat melakukan kajian terhadap tiga fatwa dalam lingkup madhhab Mlik tentang perdagangan dengan non-Muslim yang ditetapkan al-Shib (Granada), al-Mzar (Tunisia), dan al-Tasl (Maroko) menyatakan bahwa fatwa dalam lintasan sejarah pemikiran Islam tidak semata pengkajian intelektual hukum Islam, namun juga menyangkut "pernyataan sikap" dalam perubahan suasana politik dan hukum.

Pada posisi inilah, fatwa dapat memperlihatkan unsur terdalam dari sebuah masyarakat di mana fatwa itu dilahirkan. Sebab fatwa sebagaimana dipahami Hooker merupakan nasihat resmi keagamaan dari suatu otoritas tentang (a) pertanyaan, atau (b) persoalan penting menyangkut pendirian hukum atau dogma Islam. Pada aspek ini, Mudzhar menyatakan bahwa fatwa pada satu sisi adalah obyek kajian hukum Islam (secara spesifik kajian fikih dan ushul fikih), tetapi pada sisi yang lain fatwa juga dapat digunakan sebagai sejarah sosial masyarakat muslim. Oleh karena itu, fatwa dapat dilihat dalam dua sudut pandang: sebagai wacana hukum dan sebagai instrumen sosial. Upaya menghubungkan dua sudut pandang ini memperlihatkan bahwa terjadi perkembangan dan dinamisasi dalam menghubungkan hukum dengan realitas.

Fatwa dengan karakteristik khusus tersebut ditambah dengan fakta bahwa ketetapan fatwa tidak bersifat mengikat, menjadikan fatwa sebagai institusi hukum Islam yang membuka peluang terhadap kebebasan akademik terutama terkait masalah hukum di dalam Islam. Praktek penetapan fatwa dari seorang ahli hukum merupakan tradisi terbaik di dalam Islam yang menggambarkan dinamisasi hukum Islam. Seorang muftī dapat mempraktekkan ijtihad dan keputusan hukum secara individual dari pertanyaan mustaftī. Meskipun seorang muftī terikat dalam madhhab tertentu, namun ia dapat mengambil posisi independen dari madhhab yang dianutnya dan begitu pula dari faktor eksternal terutama penguasa.

Makdisi mencatat bahwa muft pada abad pertengahan merupakan produk dari sistem pendidikan dengan basis wakaf. Atas dasar sistem wakaf, maka pendidikan yang dikembangkan bersifat individual dan merupakan lembaga pribadi (swasta) bukan lembaga negara. Seorang muft dapat menginterpretasikan hukum secara independen dan tidak terikat dengan berbagai kepentingan penguasa. Muft bertanggungjawab terhadap keputusan hukumnya terutama kepada Tuhan. Dengan demikian, dalam menjalankan peran dalam memberikan fatwa, seorang muft tidak memerlukan kekuasaan hukum (authority atau legalized power) yang diberikan oleh negara. Kekuatan fatwa tidak ditentukan oleh status penugasan yang diberikan oleh negara melainkan tergantung respons masyarakat terhadap fatwa tersebut. Di sinilah terbentuk otoritas fatwa dalam wacana hukum Islam. Sebuah fatwa dapat mempengaruhi baik individu, masyarakat, bahkan kebijakan pemerintah. Terlihat bahwa kedudukan fatwa akan melibatkan secara langsung dialektika antara agama, ulama, masyarakat, dan negara.

Dalam perspektif sejarah, fatwa sebagai salah satu produk hukum Islam dengan karakteristik yang dimilikinya mengalami proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change). Perubahan dapat dilihat dari pelembagaan fatwa dan penetapan fatwa dari individual kepada kolektif. Perubahan konsep fatwa ini terjadi di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia dengan hadirnya berbagai lembaga fatwa, di antaranya adalah MUI. Pelembagaan fatwa di Indonesia yang murni bersifat kolektif memiliki perbedaan dari kawasan dunia Islam lainnya yang pada umumnya tetap mempertahankan karakteristik muft individual meskipun secara institusi telah terlembagakan.

Pergeseran konsepsi fatwa yang semula lebih bersifat individual ke arah pelembagaan fatwa yang bersifat kolektif turut mempengaruhi kedudukan fatwa itu sendiri dalam konteks nation-state. Qomarul Huda memperlihatkan bahwa meskipun fatwa MUI di Indonesia dinyatakan tidak mengikat secara hukum, tetapi dalam prakteknya selalu dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan. Hal senada juga terjadi di berbagai negara Muslim lainnya, seperti Malaysia yang menempatkan fatwa sebagai bagian dari rujukan hukum dari berbagai kasus keagamaan yang terjadi....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun