Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu jantung dalam pembangunan pada suatu daerah. Oleh sebab itu peran pelaku usaha sangatlah penting guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, salah satu pewujudan penghidupan yang layak bagi masyarakat adalah dengan memberikan kesempatan dan kemudahan berusaha kepada pelaku usaha agar terciptanya lapangan kerja seluas-luasnya. Tumbuhnya iklim investasi maupun pelaku usaha didaerah diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Bahwa untuk mendukung pembukaan lapangan kerja dan tumbuhnya pelaku usaha diperlukan penyesuaian  berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.Bahwa untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, ekosistem investasi, pembukaan lapangan kerja, serta kemudahan berusaha penulis berpendapat Pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan serta mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Dari beberapa Cluster (11 Kluster) yang terdapat dalam UU Cipta Kerja, Kluster Kemudahan Berusaha adalah salah satu bentuk keberpihakan pada pelaku usaha dan membuka peluang terciptanya lapangan kerja. Secara sederhana penulis menyampaikan ketika ada kepastian hukum dan kemudahan berusaha kepada para pelaku usaha guna memenuhi aspek legalitas maka itu akan menjadi embrio akan terbentunya pelaku usaha dan iklim investasi di daerah.
Dari perspektif hukum penulis menyampaikan suatu Produk hukum harus memberikan Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan. Para pelaku usaha yang akan mengembangkan suatu usaha ataupun berInvestasi Kepastian Hukum lah yang menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi guna menunjang kegiatan usaha.
Kepastian Hukum yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, baik pelaku usaha yang memiliki badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha non badan hukum adalah aspek legalitas usaha. Aspek Legalitas usaha maupun kemudahan berusaha diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja serta peraturan turunannya salah satunya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Resiko.
Perizinan Berusaha merupakan suatu legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Terdapat 2 aspek legalitas yang harus dipenuhi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu persyaratan dasar perizinan berusaha dan perizinan berusaha berbasis risiko.
Persyaratan dasar perizinan berusaha sebagaimana yang dimaksud meliputi beberapa hal, yaitu mengenai kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan (SPPL, UKL-UPL, AMDAL), persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.Â
Pemerintah Pusat berkomitmen memberikan kemudahan - kemudahan kepada pelaku usaha dalam memenuhi segala aspek perizinan berusaha baik dalam aspek persyaratan dasar perizinan berusaha maupun pada aspek perizinan berusaha berbasis risiko. Sebagai satu contoh, berkaitan dengan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, bagi pelaku usaha Mikro dan Kecil, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang berupa pernyataan mandiri dari sistem OSS (Online Single Submission). Sedangkan Persetujuan Lingkungan didasarkan pada tingkat risiko kegiatan usaha yang dijalankan, yang diantaranya risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi maupun risiko tinggi.Â
Bagi kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah, Persetujuan Lingkungan berupa SPPL yang terbit dari sistem OSS. Kemudian untuk Persetujuan Bangunan Gedung, pasca hadirnya Undang - Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, Persetujuan Bangunan yang dahulu dikenal dengan nama Izin Mendirikan Bangunan atau IMB, saat ini telah berubah nomenklatur menjadi Persetujuan Bangunan Gedung atau PBG. Permohonan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi dapat dimohonkan oleh pemohon melalui sistem SIMBG (Sistem Informasi Managemen Bangunan Gedung) sistem tersebut diciptakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Adapun jangka waktu penerbitan PBG paling lambat 28 hari kerja, tergantung pada fungsi dan klasifikasi bangunannya. Proses 28 hari kerja tersebut meliputi pengajuan permohonan, pemeriksaan rencana teknis, perhitungan retribusi dan penerbitan PBG.
Perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar. Analisa risiko sebagaimana yang dimaksud dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui beberapa aspek, yaitu identifikasi kegiatan usaha, penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha, serta penetapan jenis Perizinan Berusaha. Tingkat risiko sebagaimana yang dimaksud menentukan jenis Perizinan Berusaha.Â
Adapun sektor usaha dengan tingkat risiko rendah, Perizinan Berusaha yang dimiliki berupa Nomor Induk Berusaha (NIB), sedangkan sektor usaha dengan tingkat risiko menengah, baik menengah rendah dan menengah tinggi, Perizinan Berusaha yang dimiliki berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar (SS). Kemudian Perizinan Berusaha untuk sektor usaha dengan tingkat risiko tinggi berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Izin. Perlu dipahami bahwa kegiatan usaha dengan tingkat risiko yang sama dalam hal pemenuhan komitmen terkait penerbitan perizinan berusaha belum tentu sama mengenai kewajiban-kewajiban yang dipersyaratkan.
Menanggapi pemberitaan yang beredar di media cetak maupun media elektronik, di beberapa daerah telah terjadi penutupan maupun penyegelan terhadap lokasi maupun kegiatan usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Penulis berpendapat, bahwa sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib melakukan beberapa analisis maupun kajian. Baik itu analisa / kajian ekonomi, studi kelayakan, maupun kajian hukum dari aspek peraturan perundang - undangan. Melakukan identifikasi terkait kewenangan dalam hal penerbitan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha maupun Perizinan Berusaha. Pasca terbitnya Undang - Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Cipta Kerja telah mencabut beberapa peraturan perundang - undangan sebelumnya serta peraturan daerah.Â
Penulis menyampaikan bahwa dari perspektif hukum dalam hal penyusunan peraturan perundang - undangan, dikenal asas Lex Superior Derogat Legi Inferior maupun Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yang artinya Peraturan Perundang - Undangan yang lebih tinggi (hirarki) mengesampingkan Peraturan Perundang - Undangan yang ada dibawahnya, Peraturan Perundang - Undangan yang baru mengesampingkan Peraturan Perundang - Undangan yang  lama.Â
Penulis berpendapat, dengan adanya asas - asas tersebut, maka pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap Perizinan Berusaha maupun Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha harus menyesuaikan dengan Peraturan Perundang - Undangan yang baru maupun Peraturan Perundang - Undangan yang ada di atasnya.Â
Lahirnya Peraturan PerUndang-Undangan yang baru khususnya peraturan yang ada diatasnya secara hirarki, memaksa pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota untuk segera menyesuaikan dan melakukan pembentukan regulasi baru yang ada di daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai Contoh misalnya Peraturan Daerah yang masih merujuk pada peraturan Perundang-undangan yang ada diatasnya yang sudah tidak berlaku maka terhadap Perda tersebut sudah seharusnya dihapus. Karena pasca diUndangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang didalamnya terdapat 11 Kluster telah melahirkan undang-undang baru serta peraturan turunannya.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Perizinan Berusaha Penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh lembaga OSS, Lembaga OSS atas nama Menteri atau Kepala Lembaga, Kepala DPMPTSP atas nama Gubernur, Kepala DPMPTSP Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota, Administrator KEK, dan Kepala Badan Pengusahaan KPBPB.Â
Penulis berpendapat terhadap penerbitan perizinan berusaha pada tingkat daerah khususnya kabupaten/kota mengacu pada peraturan pemerintah tersebut terdapat pelimpahan wewenang dari kepala daerah kabupaten/kota kepada Kepala DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Dalam hal penerbitan Perizinan Berusaha pada tingkat daerah tidak dapat dilakukan secara serta merta, melainkan terhadap penerbitan perizinan berusaha tersebut harus sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Para pelaku usaha diharapkan jeli dan cermat dalam memilih serta menentukan Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sebagaimana diatur dalam Peraturan BPS Nomor 2 tahun 2020. Pemilian KBLI serta skala usaha (Mikro, kecil, menengah dan besar) memberikan dampak serta konsekuensi terhadap pemenuhan komitmen dalam peberbitan Perizinan Berusaha maupun Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha maupun konsekuensi secara administratif lainnya.Â
Sebagai salah satu contoh adanya KBLI dan skala usaha tertentu yang wajib Lapor LKPM (Laporan Kegiatan Penanaman Modal). Pelaku usaha diharapkan dapat secara jeli memahami pada tahapan apa kegiatan usaha tersebut dapat melakukan kegiatan "Persiapan dan juga Tahap operasional/Komersil", karena dalam hal penerbitan perizinan berusaha sekalipun belum terbit sepenuhnya pelaku usaha sudah dapat melakukan kegiatan persiapan. Diharapkan dengan adanya tulisan tersebut, penulis berharap pelaku usaha dapat menjalankan kegiatan usaha secara profesional dan mendapatkan kajian hukum dan menunjuk praktisi yang berkompeten di bidangnya.
Penulis: Wahyu Nugroho
(Nugraha & Co Law Office)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H