Baru baru ini, Pemerintahan pro Rusia yang menduduki empat wilayah di zona ukraina telah sepakat menggelar referendum beberapa waktu lalu. Referendum tersebut diselenggarakan di Zaporizhzhia, Donetsk, Kherson, dan Luhansk.
Yang dimana dilaksanakan dengan guna menentukan penggabungan wilayah-wilayah baru tersebut dengan Rusia. Dan hasil dari Referendum ini meliputi wilayah Kherson Ukraina Selatan sebanyak 87,05 persen, Â di wilayah Luhansk Ukraina Timur 98,42 persen, lalu di Donetsk Ukraina Timur sejumlah 99,23 persen, dan di wilayah Zaporizhzhia selatan mengatakan 93,11 persen. Keseluruhan presentase ini memutuskan memilih aneksasi Rusia
Pada hari Jumat, 30 September 2022 kemarin, Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengumumkan upaya penggabungan empat wilayah ukraina. Ikrar yang disampaikan Presiden Putin mengenai rencana penggabungan itu dilaksanakan setelah pihak Federasi Rusia menggelar pemungutan suara secara sepihak pada daerah-daerah di Ukraina.Â
Pemungutan suara ini disebut sebagai referendum, yang tentu saja menuai kecaman dan respon negatif dari negara negara barat. Hal ini dinilai melanggar hukum internasional dan bersifat represif.
Amerika Serikat, Uni-Eropa hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengecam hal ini. Deklarasi sepihak yang dilakukan oleh Vladimir Putin dinilai Ilegal dan pihak sekutu menegaskan tidak mengakui pencaplokan empat wilayah Ukraina tersebut. Akan tetapi, DK PBB tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mengecam hal ini dikarenakan terbatasi oleh hak Veto Moscow.
Vladimir Zelensky juga memberikan pernyataan bawasannya Ukraina telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Aliansi NATO secepatnya. Ia juga mengatakan tidak akan ada pembicaraan damai maupun negosiasi lagi atas hal ini, mengingat tindakan Rusia dinilai telah melewati batas.
Pihak Federasi Rusia akhirnya angkat bicara dalam menanggapi respon ini. Setelah putusan referendum yang terlaksana pada akhir September 2022 lalu, Pejabat proRusia di empat wilayah tersebut mengklaim bahwa 90 persen lebih penduduknya setuju untuk bergabung dengan Rusia.
Dilansir dari Deutsche Welle (DW), Vladimir Putin mengatakan "Saya ingin mengumumkan ini kepada Kyiv dan Negara Barat, bahwa warga yang tinggal di Zaporizhzia, Kheron, Luhansk dan Donetsk sekarang menjadi warga kami selamanya,". Â Vladimir Putin juga mendorong Ukraina agar segera melakukan dialog penyelesaian. Akan tetapi disisi lain, Putin enggan untuk menyerahkan kendali kekuasaan atas empat wilayah yang dicaplok tadi ke Ukraina kembali.
Kemudian bagaimana respon Indonesia??
Dalam sejarah perkembangannya, Indonesia menggunakan prinsip politik luar negeri bebas aktif dalam hubungan antarnegara. Prinsip ini diperkenalkan oleh Moh.Hatta dalam pidato nya pada 2 September 1948. Pidato ini tak lain merupakan respon atas konflik yang terjadi antara blok barat dan timur (USA-UniSoviet) pasca perang dunia II. Oleh Moh.Hatta kata "bebas" didefinisikan sebagai sikap netral dari Indonesia yang dimana tidak memihak salah satu pihak.Â
Sikap netral Indonesia ini sempat diragukan oleh bangsa lain karena dinilai tak berpedoman dan tidak memiliki arah pasti. Padahal dalam pemaknaannya, Politik luar negeri Indonesia berarti Independent Policy.
Kemudian dalam perkembangannya memasuki abad 21 ini, Indonesia juga disuguhkan oleh beberapa konflik antar negara salah satunya konflik yang terbaru yaitu Rusia-Ukraina. Tentu saja dengan munculnya konflik ini, memunculkan pertanyaan. Lalu bagaimanakah peran indonesia dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif nya?
Respon atas kejadian ini diutarakan oleh Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Kemenlu menegaskan bahwa referendum sepihak yang dilakukan oleh Rusia atas empat wilayah Ukraina tidaklah dibenarkan. Tentu saja hal ini illegal dan melanggar prinsip dalam Piagam PBB serta Hukum Kedaulatan Internasional.Â
"Setiap negara harus menghormati kedaulatan dan integritas wilatah negara lain. Prinsip ini jelas sudah tercantum dalam Prinsip Utama Piagam PBB," Mengutip Twitter resmi dari Kemenlu RI, pada Minggu 2 Oktober 2022.
Indonesia juga menilai referendum ini tentu saja akan semakin mempersulit penyelesaian konflik melalui dialog damai dan menyebabkan perang semakin tidak terselesaikan. tentu saja apabila perang terus berlanjut maka hal ini akan merugikan semua pihak atau bahkan kestabilan ekonomi Dunia.
Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia juga menjelaskan bahwa Indonesia tetap konsisten terhadap Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan tetap menghormati prinsip tersebut. Meski begitu, Indonesia secara jelas belum menerangkan posisi dalam merespon keputusan pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Vladimir Putin.
Dalam konsistensi dan prinsipnya, Indonesia punya kesempatan untuk memainkan perannya sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya.Â
Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri, Winardi Hanafi mengatakan bahwa Indonesia konsisten dengan prinsip bebas aktif dalam menyikapi krisis yang terjadi di Ukraina, "bebas aktif bukan berarti netral aktif, tetapi juga memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun bantuan terhadap penyelesaian konflik. Sikap Indonesia juga bukan sekadar mengikuti negara lain, melainkan berkepentingan untuk menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap norma hukum internasional."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H