Berhenti. Senyap. Beberapa ekor laron telah tewas, tak lagi mengusik ujung jari utnuk menjantikkannya menjauh. Mayat-mayatnya digotong beramai-ramai. Ke sarang, ke lorong-lorong sekitar tikar pandan. Lalu disantap keesokan paginya serupa sarapan.
“Masih, Ayah,” kataku memecah sunyi, sedikit lirih, takut kalau-kalau kepikunannya akan terusik dan ia lupa bercerita apa. Tentu saja, empat tahun semenjak ibu pergi, ayah seringkali lupa segala hal yang ingin diucapkannya. Ia bukan pelupa. Daya ingatnya sangat baik. Hanya saja, ia telah terbiasa jika ada yang mengingatkannya, Almarhum ibu.
“Anakku, diluar sangat dingin. Tidak terasakah olehmu, nak?”
“Tidak, Ayah. Saya akan menunggui Ayah disini bercerita. Sekejap lagi pagi,” jawabku.
“Nah, anakku, jika ada seseorang yang memiliki kualitas kerendahan hati dalam arti yang sebenarnya, kepada merekalah kau seharusnya datang berguru.”
***
Epilog:
Berhenti. Senyap. Beberapa ekor laron tewas lagi, pun tak akan mengusik ujung jari untuk menjantikkannya menjauh. Mayat-mayatnya digotong beramai-ramai. Ke sarang, ke lorong-lorong sekitar tikar pandan. Lalu disantapnya keesokan paginya serupa sarapan. Menyisakan remah-remah serupa sayap yang akan disapu Ayah dengan ujung sajadah. Itu sebelum sholat subuh. Selalu, semenjak ibu pergi dan Ayah lebih suka tidur di atas tikar pandan teras rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H