Entah hari apa. Saya lupa. Ayahku, laki-laki renta dengan surban yang menyisir tanah, duduk bak seorang resi di tikar pandan teras rumah. Jari-jemari sibuk membilang tasbih. Mulut komat-kamit dengan lapaz zikir. Kesederhanaan membuat raut mukanya terlihat aneh. Entah kenapa, aku begitu kagum melihatnya selarut ini. Sedikit lagi pagi, benakku. Ada apa beliau memanggil?
***
Saya mengambil tempat, tepat disisi bantal lusuh, dimana selalu saja pantatnya ia simpan disana, menopang kezuhudan hidup dan tak ketertarikannya pada segala yang empuk; sofa, kasur, atau apa saja yang aku sukai untuk merebahkan diri di atasnya.
Dihisapnya dalam-dalam tembakau yang terbungkus daun jagung. Agak hitam. Dibelinya di pasar kampung setiap Kamis seharga seribu rupiah. Dicampur madu, sedikit. Dan beberapa bulir potongan cengkeh. Membuatnya agak susah diplintir daun jagung, tembakau yang paling digemarinya. Jika dingin terlalu, maka akan diolesinya lintingan itu dengan minyak angin. Entah buat apa. Tapi tidak, tentu saja, Almarhum ibu tidak pernah suka dengan daun laknat itu terselip dalam keranjang belanjaan. Jika sempat, maka akan dibelanjakannya saja uang ayah itu buat lauk segala. Tapi ayah tak pernah murka, sebab selalu disisanya sedikit di bawah bantal, selalu.
“Yang kau butuhkan dalam hidup adalah hal-hal sederhana, anakku,” katanya mulai bicara. “Jika ia berupa harta benda, yang kau butuhkan secukupnya saja. Asal cukup menjelaskan kepadamu betapa sedikit kebutuhanmu sehingga jika kelebihannya sedang menjadi milikmu, itu pasti bukan karena kebutuhanmu, melainkan karena kerakusan kita. Jika ia berupa ilmu pengetahuan, cukuplah ilmu yang mengajarimu tentang kebodohanmu sendiri. Bahwa apapun yang kau pelajari, pasti cuma untuk menegaskan kebodohan kita sendiri. Bahwa jika saja semua isi kepalamu kau buka dan kau tadahkan, ia tak kan sanggup menampung seluruh pengetahuan semesta raya. Janganlah berbangga diri, anakku. Mentang-mentang berilmu, merasa berilmu pun telah merupakan bentuk penegasan baru tentang kebodohan kita. Jika kau butuh sahabat, anakku, cukuplah kau puas dengan orang-orang sederhana saja sebagai sahabatmu. Sepanjang orang itu sanggup mengilhamimu agar tidak ragu untuk tidur jika mengantuk, makan jika lapar, dan tertawa jika geli, maka cukuplah ia sehabat bagimu. Cukuplah, anakku. Cukuplah jika sahabatmu itu mengajarimu untuk berani menjadi manusia yang wajar dan semestinya.
Jika kau berguru, anakku, jangan kau meminta guru yang dapat mengajarimu punya kemampuan terbang dan menghilang. Cukuplah bagimu jika sang guru mau membimbingmu untuk belajar menyingkirkan batu di jalanan, rela pada keberuntungan orang lain, sabar atas kemalangan diri sendiri, senang melihat tetangga punya barang baru, mencintai anak-anak, dan menyayangi hewan. Dari gurumu itu, anakku, janganlah kau mengharap pelajaran apapun selain pelajaran merendahkan diri dan merendahkan hati, karena penyakit terbesar saat ini, dulu, dan masa yang akan datang, anakku, adalah perasaan bahwa kita ini ada, penting dan besar. Dengan kebesaran itulah orang lain sering kita lihat kecil. Karena kepentingan itulah, orang lain jadi terasa remeh. Karena keberadaan itulah, orang lain jadi seperti tidak ada. Maka jika kita tidak dibesarkan dan dipentingkan, maka susahlah hati kita.”
Berhenti. Dihisapnya lagi tembakau daun jagung. Diluar sedikit dingin. Satu dua semut dan laron berkelahi di tikar pandan. Diabaikannya saja, pun tak diolesinya lintingan tembakau daun jaung itu dengan minyak angin seperti biasa.
“Apa kau mendengar, anakku?”
“Iya, Ayah. Masih,” jawabku mengiyakan.
Senyap.
Dimualinya lagi berkata, “Jika menusia sedang kelihatan merendah, sesungguhnya itu karena sedang merasa tinggi. Jika manusia sedang mengecil, sesungguhnya karena manusia itu sedang merasa besar. Olah karena itu, aku pun dapat khusuk berzikir sambil memandang rendah dan hina orang lain yang kuanggap kekhusukannya tidak sama denganku. Jadi, anakku, perendahan dan pengecilan diri itu sesungguhnya tak lebih dari alat kesombongan kita semata.”