Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyelisik Paradigma Islam Puritan dan Kaum Kiri Soal Simbol Agama

13 Juni 2019   12:30 Diperbarui: 13 Juni 2019   12:51 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisa dibilang, tulisan ini agak terlambat untuk merespon gaduh soal "bangunan masjid" yang dituduh simbol illuminati; tradisi pagan dan penyembah berhala itu. Ustadz  Rahmat Baequni mungkin lupa, jika desain masjid modern di seluruh dunia merupakan hasil dari perpaduan peradaban Romawi dan Persia; produk Zoroaster, penyembah api. Anggap saja, Ustad Baequn khilaf dan lupa, bahwa budaya Islam tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil akulturasi dari budaya dan institusi lokal.

Kisruh ini berawal dari, pernyataan ustadz Baequn, yang menyebut Masjid "Al-Safar", Sukajaya, Jawa Barat, yang dibuat oleh arsitek kenamaan Ridwan Kamil,  mirip dengan simbol Illuminati, penyembah Dajjal.

Mengenai Illuminati, bagaimana keberadaan dan sepak terjangnya, tak banyak yang tahu, tapi setelah saya telusuri dari pelbagai sumber, doktrin Illuminati itu sama persis dengan Tarekat Masoniah atau Mason Bebas. Intinya ajarnya adalah ingin membebaskan manusia dari batas-batas agama.

Bagaimana kesamaan doktrin antara Illuminati dan Tarekat Masoniah itu anda bisa mengakses secara bebas buku karya Dr.Th Staven dengan judul "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962".

Perihal Illuminati, Freemasonry dan Tarekat Masoniah ini memang benar adanyanya. Anda juga bisa mengakses referensi rujukan dari sumber yang lebih kredibel.  Agar distingsi tulisan ini berbeda dengan tulisan lain, saya hanya ingin mencoba mendudukkan perkara pada konteksnya, melihat ini sebagai hal yang tidak perlu diperpanjang. Kita tidak perlu meminta agar ustadz Baequni menarik kata-katanya, menuduhnya berlebihan. Anggap saja, yang keluar dari lisannya hanya sebuah argumen multi-tafsir yang bisa diiukuti dan tidak atau sebut saja argumennya sebatas penyadaran rohaniah, bukan hukum yang mengikat. Itu saja.

Warna Islam begitu beragam, terkadang ia memperlihatkan bentuknya yang begitu sensitif dan ekslusif, pada sisi lain memperlihatkan wajah sekular dan bahkan liberal dan kontradiktif. Bentuk sensitifitasnya misalnya, terkait soal simbol-simbol; model celana dan pakaian, dianggapnya tidak mencerminkan Islam. Wajah sekular, liberal dan kontradiktif terlihat soal ideologi negara, afiliasi politik dan soal modernitas. Intinya, Islam begitu beragam dan tanpa batas, selama itu masih dalam koridor etika dan norma.

"Jangan hanya soal Furu'iah/sekunder kita bertengkar dan terpecah belah", perbedaan adalah fitrah, selama itu ada dalil, kita boleh mengikuti mana saja. Yang salah adalah, yang tak berdalil dan ingin menang sendiri".    

Kembali pada fokus masalah, perdebatan ini hanya soal perspektif dan cara berfikir. Ustadz Baequni tentu dengan sikap puritan, berdasar ijtihad yang dibalut dengan dalil yang bernada "haram"; membatalkan salat dan menggugurkan tauhid. Baiquni ingin menyampaikan, bahwa dalam Islam, estetika, simbol-simbol  diseleksi secara ketat. Jelas, dia (Baequni) berupaya  untuk mempertahankan kemurnian Islam.

Ustadz Baequni mungkin tidak akan pernah salat di Masjid itu lagi, selamanya. Betapa banyak, masjid-masjid di Eropa yang dulunya Gereja dan Bar disulap menjadi masjid, tempat ibadah.

Sekali lagi, ustadz Baequni tidak salah, dia hanya mempertahankan kemurnian ajaran yang dianggapnya benar dan sesuai dalil. Hanya saja, soal larangan ibadah di Masjid yang dianggapnya simbol Dajjal itu kurang etis, kebablasan. Mungkin, "ucapannya" adalah hanya upaya agar cepat tenar, dikenal jagat publik, punya banyak pengikut. Ustadz Baequni sepertinya terinspirasi dari strategi kontroversi ala-Abu Janda, lelaki terkenal sejagat itu. Namun, bedanya, Ustadz Baequni cerdas berdalil, paham agama. Beda dengan Abu Janda serampangan, tak punya pendirian.

Berbeda dengan cara berpikir puritan ala ustadz Baequni, cara berpikir kaum kiri melihat soal simbol sebagai nilai estetika tanpa batas. Karya seni dalam segala bentuknya harus dihargai. Seni bagi seni (fan lil fan), adalah madzhab yang lepas dari ikatan-iakatan dogma. Oleh sebab itu, arsitektur geomaetris masjid "Al-Safar" sebagai sebuah mahakarya yang unik dan patut dihargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun