Seisi aun-alun pun tak dapat berbuat banyak, mereka menyadari betapa lemahnya mereka, tak dapat sedikitpun mampu menolong sang raja.
***
Alun-alun Sundra, simbol keperkasaan kini berubah menjadi arena pertarungan. Kawanan Singa mengelilingi dan menerkam raja Rudholf, rubah dan buaya ikut menyerang. Tubuh kekar sang raja, robek bersimpah darah, tubuh perkasa itu tak lagi mampu menahan cabikan dan terkaman taring-taring lawan-lawannya. Raja Rudolf meringih, meraung dengan suara yang didengar hutan.
Sementara, kawanan-kawanan lain, menahan sedih. Rasanya mereka ingin membela, namun tak kuasa, menahan sedih atas tragedi yang menimpa raja agung dan melagenda itu.
Darah mengalir dari sekujur tubuh raja, tubuh sang raja tumbang tak bergeming. Kawanan singa, buaya dan rubah masih saja merobek tubuhnya itu. Mereka menghadap langit, taring-taring mereka dilumuri darah, menatap ke arah langit, dengan tatapan tajam menunggu takdir siapakah yang pantas menerima tahta raja baru. Mereka mengaung keras, berdiri melingkar dengan rasa sombong dan angkuh.
***
 Setelah Rudholf mati di tangan mereka. Rubah kembali bersuara. "Dari kawanan Singa, yang hanya pantas menjadi raja adalah yang paling kuat. Singa terkuat akan mendapatkan dukungan penuh kami, fraksi Rubah. Singa Ronn, membalas.
"Bukankah Aku yang paling pantas menjadi raja hutan, selama ini engkau  telah mendukung dan membelaku sepenuh hati untuk melawan Rudholf".
"Aku memang mendukungmu, itu karena kamu-lah yang paling bernafsu untuk membunuh Rudholf. Takdir Raja hutan adalah untuk saling membunuh, yang terkuat adalah pemenang dan paling pantas menjadi raja".
Rubah begitu cerdik, berhasil memperdaya dan menghasut kawanan Singa. Raja Rudholf yang paling dibencinya, terbunuh di depan mata dan didepan penduduk hutan. Dalam hatinya merasa puas, disinilah puncak kebahagiaan. Selangkah lagi, tujuannya akan tercapai, dalam hati hanya kawanan Rubah-lah paling pantas menerima julukan raja hutan.
***