Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Prabowo Seharusnya Bahagia dan Bangga

2 Juni 2019   11:27 Diperbarui: 2 Juni 2019   11:44 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi telah usai, namun tidak untuk tensi politiknya. Hingga detik ini masih ada saja pihak yang mencoba "mengadu domba" masyarakat. Buntutnya, rusuh 21-22 Mei lalu menyisakan duka mendalam bagi pihak yang menjadi korban. Demonstrasi yang berujung anarkis itu murni desain elit politik, memanfaatkan isu seputar "kecurangan masif dan terstruktur" untuk menyulut amarah simpatisan.

 Memang, publik menemukan sejumlah kecurangan dalam pemilu kali ini dan mengecewakan semua pihak, namun, sepatutnya kita harus menyadari bahwa di negara maju sekalipun, kecurangan itu pasti ada. Sehingga, langkah konkret ke depan adalah memperbaiki sistem demokrasi, sehingga demokratisasi di lima tahun mendatang  terlaksana dengan baik.

Penyebab makin memanasnya tensi politik tidak lain karena sikap  Prabowo dan koalisi  dalam menyikapi  kecurangan. Beberapa kali, Prabowo menuduh bahkan menolak hasil resmi rekapitulasi KPU. Seharusnya, sebagai negarawan ia hadir di muka publik dengan pesan meneduhkan, mengajak masyarakat bersatu setelah pemilu usai, bukan  menuangkan minyak dalam bara api.

Saya memahami bahwa reaksi Prabowo itu bukan tanpa alasan, dalam konteks politik langkah tersebut adalah sebagai strategi politik jangka panjang untuk mempertahankan basis simpatisan terutama dari kalangan Islam politik.

Tentu, terminologi Islam politik yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah kalangan kelompok yang menghendaki pemimpin lahir dari kalangan ulama atau atas ijtihad dan kesepakatan ulama. Dalil ini memang ambigu, jika ada pertanyaan ulama mana yang dimaksudkan? 

Bukankah, lawan politik Prabowo adalah representasi dari elemen ulama? Jawabannya hanya bisa ditelisik melalui satu jalan yaitu dalam dua tahun belakangan, terminologi ulama mengkerucut pada "Ijtima' Ulama", yaitu mereka yang anti-China, anti-PKI dan dalil-dalil konspirasi.

Meskipun demikian, ada dua fenomena menarik dari gerakan Islam politik ini, pertama, meskipun mengakui representasi dari Islam, tetapi mereka cenderung bergerak pada dua kaki, partai sekular seperti Ggerindra dan partai dengan corak Islam seperti PAN, PKS. Kedua, dari segi pemahaman, Islam politik ini sebenarnya moderat, jauh dari kesan konservatif.

Sehingga gerakan Islam politik mengalami perubahan, baik dari sisi strategi dan konsepsi, ia tidak lagi terikat pada partai-partai Islam dan tidak pula terikat pada doktrin tentang Islam dan negara, tetapi berangkat dari pancasila, demokrasi dan persatuan.

Lalu pertanyaan dasarnya adalah, apakah Prabowo sedih atas hasil Pilpres setelah dua kali sebelumnya gagal? atau tuduhan yang disematkan pada dirinya, bahwa Prabowo mengalami tekanan mental karena kalah?

Saya ingin memberikan gambaran, bahwa semua tokoh-tokoh besar mengakui bagaimana peran, kiprah dan keikhlasan Prabowo Subianto. Mendiang Gusdur pun, menggambarkan beliau sebagai kesatria dan sosok yang begitu ikhlas. Dia (Prabowo) terlibat dalam pentas politik, bukan karena haus kekuasaan, melainkan murni ingin memperbaiki nasib bangsa, ingin melihat masa depan saya, anda dan kita semua lebih baik. 

Jadi, kegagalan soal proses, yang terpenting bagi saya bahwa Prabowo adalah pahlawan dan negarawan, di saat elit politik tercerembab dalam pragmatisme, ia mengingatkan kembali pada kita makna sebuah idealitas, arti bahwa kemerdekaan belum di capai sepenuhnya. 

Di balik suaranya yang lantang, tersimpan pesan moral bahwa seharusnya kita sebagai bangsa yang besar masih harus berjuang, berjuang melawan korupsi dan ketimpangan.

kompas.com
kompas.com

Prabowo Subianto, sama sekali tidak rugi. Sebaliknya, ia seharunya bahagia, partai besutannya yang selama ini diperjuangkan, partai  Gerindra menjadi partai dengan perolehan suara terbesar kedua, mengalahkan partai-partai lawas.

Jadi, bagi saya Prabowo senang, dengan hasil yang diperoleh partai besutannya. Bertengger pada urutan  ke dua perolehan suara nasional adalah pencapaian optimal. Ini menunjukkan partai Gerindra makin kuat hingga tarap grass root (akar rumput) sehingga, bisa dijadikan tolak ukur untuk melihat peta politik lima tahun mendatang. Sudah tentu, pesta demokrasi yang akan datang tidak lagi melibatkan antara Prabowo dan Jokowi, pesta demokrasi selanjutnya akan diisi oleh tokoh-tokoh muda.

Terakhir, Saatnya kita kembali dalam bingkai kebersamaan dan kehangatan bernegara. Pesta telah usai, mari bersama menatap masa depan Indonesia lebih baik. Saatnya kita mengawal kinerja pemerintahan baru, yang perlu dijaga adalah nalar kritis, hilangnya nalar kritis adalah awal lahirnya rezim otoriter dan pseudo-demokrasi. Oleh sebab itu, mari kita jaga demokrasi dengan merawat nalar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun