Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istilah Kafir, Nahdlatul Ulama, dan Sikap Kita

5 Maret 2019   18:08 Diperbarui: 6 Maret 2019   00:49 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama dan Institusi Sosial 

Kita umat Islam seringkali buram melihat mana dimensi normatif dan dimensi sosial. Dimensi normatif mengandung etika, nilai, moral dan keyakinan penganut ajaran agama. Ada ajaran yang wajib kita laksanakan sebagai individu dan sosial, ada pula hal yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Sedangkan ada dimensi lain tak kalah pentingnya, yaitu  institusi sosial yang bercorak agama dan institusi agama.

Ini kita harus sadari bersama, sebagai institusi sosial ia berfungsi untuk menjaga keutuhan masyarakat. Sedangkan institusi agama berfungsi untuk memberi fatwa untuk kemaslahatan bersama.

Saya memandang agama dalam institusi sosial bertugas untuk mendidik, mengelola, dan menanamkan nilai islami. Tugas itu tujuannya adalah untuk menghapus fanatisme beragama bukan sebagai institusi yang memproduksi fanatisme dan perpecahan. Institusi sosial yang bercorak agama pada titik tertentu telah kehilangan titah dasarnya, justru ia adalah produsen fanatisme paling berbahaya. Seharusnya, Nahdlatul Ulama  tidak perlu khawatir dengan terminologi Kafir. Sebagai institusi sosial yang bercorak agama, seharusnya menonjolkan peran pentingnya untuk menghilangkan sikap fanatik.

Institusi sosial sebagai wadah produktivitas. Memproduksi semangat pengetahuan dan peradaban. Bukan bergulat pada Kafir-Non Muslim, Wahabi, Salafiyyah, dan semacamnya. Tugas utama institusi sosial adalah mengembalikan spirit peradaban itu sendiri. Dalam hal ini Islam misalnya, masalah kita hari ini adalah bagaimana kita merajut peradaban Islam yang pernah terukir selama ribuan tahun, gairah inovasi, tradisi intelektual yang telah terkubur hanya dapat dibangun melalui institusi sosial itu sendiri. Sekali lagi, bukan institusi sosial sebagai produsen klaim kebenaran.

Nahdlatul Ulama dan organisasi lain sebenarnya adalah institusi sosial yang berasas agama. Sebagai institusi sosial, harus disadari bisa benar dan bisa pula kurang tepat. Masyarakat Muslim di Indonesia sudah memahami betul mana teks dan konteks dan saya meyakini, kelompok awam pun tidak pernah menyebut dalam satu forum diskusi menyebut kata-kata kafir, selalu menyebut Non-Muslim. Kecuali, bila ada persoalan yang menyangkut hukum Islam.

Saya berharap Nahdlatul Ulama, lebih baik berfokus pada sosial-keumatan yang lebih bermanfaat; membangun rumah sakit, membantu fakir miskin dan mempromosikan Islam rahmat bagi seluruh alam, bukan membuat gaduh umat.

Pasalnya, melekat dalam pandangan Barat bahwa Islam di Indonesia menawarkan "Islam Ramah"/ (Smailing face) jadi bagaimana seharusnya Nahdlatul Ulama mempertahankan Islam rahmat ini dibarengi dengan membangun sumber daya yang kuat dan mendorong terwujudnya komunitas dan tradisi ilmiah itu sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun