Citra perempuan dalam literatur politik dan kesejarahan Indonesia saya anggap masih pincang. Di samping beberapa peneliti menguraikan bahwa perempuan tidak hadir dalam teks dan literatur politik  dan sejarah nasionalisme kebangsaan. Mereka tidak terlihat dalam catatan fotografi, memoar dan sejarah resmi negara. Nampaknya gerakan identitas perempuan diposisikan di luar definisi politik konvensional dan jarang dimasukkan dalam analisis arus utama.
Kenyatannya, diskursus perempuan dalam konstelasi politik Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Hal ini didasarkan pada kondisi geopolitik dan sosial Indonesia yang menyediakan ruang partisipasi politik yang lebih terbuka.Â
Untuk memahami bagaimana potret gerakan kaum hawa dalam pentas politik Indonesia, tergambar apik dalam penelitian Susan Blackburn dengan judul "Woman and the State in Modern Indonesia", menguraikan relasi mutualisme antara negara dan gerakan perempuan serta dampaknya terhadap transisi politik Indonesia menuju demokrasi.Â
Tidak hanya itu, menurut Ruth Woodsmall mendiskripsikan bahwa gerakan perempuan Indonesia sebagai salah satu kekuatan paling penting dalam perjuangan Indonesia.
Menurut Susan, untuk memahami relasi negara dan gerakan perempuan secara utuh, perlu pembacaan diakronis untuk mengungkap relasi, identitas dan peran perempuan dalam politik yang selama ini masih terkesan samar-samar. Relasi, identitas dan peran tersebut dibangun dalam beberapa tahap yaitu:
Era Kolonial 1900-1942.Â
Pada tahap ini, pengaruh doktrin gander-kolonial terhadap kebangkitan gerakan perempuan sangat jelas, eksponen aspirasi awal yang paling terkenal dari gerakan perempuan Indonesia adalah Raden Ajeng Karini (1879-1904) menjadi promotor gerakan perempuan yang memperjuangkan hak pendidikan dan simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya itu,  Kartini mewakili  simbol kecerdasan, keberanian, ide dasar emansipasi wanita serta perjuangan atas penindasan dan masalah sosial.
Perjuangan Kartini melahirkan lokus gerakan perempuan di berbagai daerah untuk membentuk organisasi sosial-keagamaan. Meski, Organisasi ini terbatas pada daerah dengan taraf pendidikan lebih kuat seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatera tapi gerakan mereka kemudian menjadi representasi dari perjuangan negara.Â
Adapun organisasi wanita pertama yang diketahui  bernama Putri Mardika yang didirikan di Jawa pada tahun 1912 dengan bantuan organisasi Budi Utomo dan organisasi Aisyiyah pada 1917, sayap gerakan perempuan dari gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta.Â
Tiga tahun berikutnya, organisasi-organisasi perempuan tergabung dalam barisan lebih besar, sehingga dampaknya ketika partai politik dan organisasi keagamaan membentuk sayap gerakan perempuan dengan agenda mempromosikan pendidikan, status hukum dan aktivisme sosial lainnya.
Embrio Negara Demokrasi hingga Demokrasi Terpimpin 1949-1965