Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menyoal #2019GantiPresiden dan Demokrasi Kita

30 Agustus 2018   00:10 Diperbarui: 30 Agustus 2018   16:46 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan #2019GantiPresiden makin mencuat ketika sudah jelas bakal paslon presiden dan wakil presiden yang bertarung pada 2019 mendatang. Kerja nyata Jokowi dianggap berhasil karena selama empat tahun kepemimpinannya mampu membangun  infrastruktur hingga daerah-daerah terpencil.

Keberhasilan tersebut tentu bukan tanpa rintangan, isu anti-agama hingga etnis dan kegagalan ekonomi menjadi pisau tajam untuk menjatuhkan pemerintah atau paling tidak menurunkan elektabilitas Jokowi yang terlampau melambung tinggi.

Isu anti-agama dan etnis itu menurut saya terakumulasi dalam sebuah gerakan yang bernaung di bawah payung #2019GantiPresiden. Bermodalkan media sosial, dalam waktu singkat, simpatisan gerakan ini telah menarik dukungan luas masyarakat.

Hingga lahir "deklarasi-konsolidasi" menggalang dukungan yang akhirnya menuai penolakan keras dari berbagai pihak itu. Salah satunya apa yang dialami oleh aktivis Neno Warisman beberapa hari lalu ketika hendak menghadiri deklarasi gerakan di Pekanbaru yang digruduk massa menolak kehadirannya.

Beragam narasi menyebar terkait persekusi Neno Warisman, ada yang mengatakan gerakan #2019GantiPresiden memecah persatuan sebab gerakan ini murni dipelopori oleh kelompok agama yang tersubordinasi atau tersisihkan dalam kancah politik yang dimenangkan oleh kalangan sekuler dan liberal sehingga gerakan ganti presiden adalah gerakan anti-demokrasi dan pemicu perpecahan.

Sementara lainnya, menegaskan tindakan penolakan elemen massa terhadap aktivis Neno tersebut telah mencoreng demokrasi dalam arti kebebasan eksprsional bagi setiap warga negara.

Jika prinsip demokrasi diartikulasikan sebagai sebuah kebebasan dan persamaan hak, maka gerakan itu adalah institusional dan legal. Sebaliknya, upaya dari berbagai "pihak" yang mencoba menghalang-halangi atau bahkan bertindak represif adalah bentuk dari pelanggaran hukum dan mencoreng prinsip demokrasi itu sendiri.

Tentu, peristiwa waktu lalu yang menimpa Neno Warisman adalah sebuah pelanggaran dan sekaligus secara eksplisit memiliki arti adanya suatu"kekhawatiran" kubu pemerintah jika gerakan tersebut makin menggeliat. Pasalnya, sikap diam pemerintah terhadap aksi persekusi yang menimpa Neno adalah bukti bahwa pemerintah menjadi dalang dari tindakan tersebut.

Di Balik Gerakan 2019 Ganti Presiden 

Saya memandang mencuatnya gerakan #2019GantiPresiden berakar pada peristiwa yang menimpa Ahok 2016 silam. Dampak peristiwa itu melahirkan sebuah  gerakan politik yang mengatasnamakan umat yang memiliki basis kekuatan cukup kuat dan berporos pada ulama.

Saya menduga gerakan ini bercermin pada kebangkitan kelompok islamis di beberapa negara Arab seperti Mesir dan Tunisia pada proses demokratisasi 2011-2013 yang didominasi oleh kelompok agama. Kenapa saya bisa berkesimpulan demikian?

Ada beberapa fakta apabila kita telisik lebih  dalam nampaknya ada kesamaan antara fenomena mencuatnya politik Islam di Tunisia dan Mesir dengan gerakan kelompok islamis di Indonesia akhir-akhir ini.

Kesamaan itu terlihat dalam beberapa hal. Pertama, keberhasilan kelompok islamis di Mesir dan Tunisia dalam memanfaatkan media sosial dengan menyuguhkan berbagai isu seputar kebohongan rezim. Strategi ini pun dimanfaatkan kelompok Islam dengan menebar isu yang ditujukan pada pemerintah. Kedua, realitasnya gerakan ini diprakarsai oleh salah satu partai Islam yang berafiliasi dengan al-Ikhwan al-Muslimin.

Kenyataan ini bukan tanpa alasan, saya melihat bahwa gerakan ini disinyalir sebagai representasi atau gabungan yang mewadahi aspirasi kelompok konservatif.

Jika kelompok ini mewakili gerakan Islam, maka apakah gerakan ini nantinya memiliki tujuan yang sama dengan gerakan islamis di negara-negara Arab? Saya meyakini bahwa potret gerakan ini memiliki pandangan lebih moderat menerima konsepsi negara sipil (civil state) yang merupakan prinsip dari demokrasi itu sendiri.

Penerimaan Islam terhadap prinsip demokrasi kemudian dikenal dengan pos-islamisme suatu pemahaman bahwa Islam mampu beradaptasi dan inheren dengan demokrasi dan mengklaim bahwa Islam adalah sebuah agama yang pluralis, adil, dan berwatak demokratis.

Kematangan Demokrasi Kita

Aksi penolakan gerakan #2019GantiPresiden di berbagai daerah mengusik pendangan saya tentang sejauhmana sebenarnya internialisasi nilai demokrasi dalam setiap jiwa masyarakat. Sebab, kita telah dipertontonkan dengan tindakan persekusi yang sejatinya hal itu bukan pelanggaran hukum atau faktor pemecah belah bangsa  dan menodai demokrasi.

Justru eksistensi gerakan ini adalah refleksi dari makin dewasa dan trend positif demokrasi kita. Justru, adanya gerakan tersebut menjadi wujud dari partisipasi dan pertarungan  politik yang semakin berwarna.

Salah satu prinsip demokrasi itu adalah kebebasan (freedom); kebebasan beragama, kebebasan berkehendak dan menyuarakan aspirasi. Maka, tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan bahwa gerakan ganti presiden anti demokrasi dan anti-kebinekaan.

Jika ateis saja dinaungi oleh demokrasi, maka gerakan politik #2019GantiPresiden atau tagar pendukung pemerintah juga dilindungi oleh demokrasi. Kesadaran ini yang harus kita pahami sehingga meminimalisir potensi perpecahan ditengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun