Ada beberapa fakta apabila kita telisik lebih  dalam nampaknya ada kesamaan antara fenomena mencuatnya politik Islam di Tunisia dan Mesir dengan gerakan kelompok islamis di Indonesia akhir-akhir ini.
Kesamaan itu terlihat dalam beberapa hal. Pertama, keberhasilan kelompok islamis di Mesir dan Tunisia dalam memanfaatkan media sosial dengan menyuguhkan berbagai isu seputar kebohongan rezim. Strategi ini pun dimanfaatkan kelompok Islam dengan menebar isu yang ditujukan pada pemerintah. Kedua, realitasnya gerakan ini diprakarsai oleh salah satu partai Islam yang berafiliasi dengan al-Ikhwan al-Muslimin.
Kenyataan ini bukan tanpa alasan, saya melihat bahwa gerakan ini disinyalir sebagai representasi atau gabungan yang mewadahi aspirasi kelompok konservatif.
Jika kelompok ini mewakili gerakan Islam, maka apakah gerakan ini nantinya memiliki tujuan yang sama dengan gerakan islamis di negara-negara Arab? Saya meyakini bahwa potret gerakan ini memiliki pandangan lebih moderat menerima konsepsi negara sipil (civil state) yang merupakan prinsip dari demokrasi itu sendiri.
Penerimaan Islam terhadap prinsip demokrasi kemudian dikenal dengan pos-islamisme suatu pemahaman bahwa Islam mampu beradaptasi dan inheren dengan demokrasi dan mengklaim bahwa Islam adalah sebuah agama yang pluralis, adil, dan berwatak demokratis.
Kematangan Demokrasi Kita
Aksi penolakan gerakan #2019GantiPresiden di berbagai daerah mengusik pendangan saya tentang sejauhmana sebenarnya internialisasi nilai demokrasi dalam setiap jiwa masyarakat. Sebab, kita telah dipertontonkan dengan tindakan persekusi yang sejatinya hal itu bukan pelanggaran hukum atau faktor pemecah belah bangsa  dan menodai demokrasi.
Justru eksistensi gerakan ini adalah refleksi dari makin dewasa dan trend positif demokrasi kita. Justru, adanya gerakan tersebut menjadi wujud dari partisipasi dan pertarungan  politik yang semakin berwarna.
Salah satu prinsip demokrasi itu adalah kebebasan (freedom); kebebasan beragama, kebebasan berkehendak dan menyuarakan aspirasi. Maka, tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan bahwa gerakan ganti presiden anti demokrasi dan anti-kebinekaan.
Jika ateis saja dinaungi oleh demokrasi, maka gerakan politik #2019GantiPresiden atau tagar pendukung pemerintah juga dilindungi oleh demokrasi. Kesadaran ini yang harus kita pahami sehingga meminimalisir potensi perpecahan ditengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H