Tulisan ini lebih kepada refleksi di lapangan, kalau yang dimaksud guru itu adalah mereka para wali kelas.
Ini bukan pendapat saya loh, argumen ini lebih kepada analisis di lapangan berdasarkan apresiasi peserta didik dan orang tua mereka.
Sebagai pendidik, kami sangat tidak masalah, mau dikasi hadiah atau tidak. Toh, guru-guru sudah digaji. Walaupun belum dengan nominal yang dijanjikan oleh presiden terbaru.
Tetapi adat dan tradisi masyarakat kita telah membuka suatu pemahaman yang lebih sempit, bahwa bagi peserta didik guru itu didefinisikan sebagai mereka yang diamanahkan kepala sekolah menjadi wali kelas. Atau, guru kelas, jika pada jenjang SD.
Pada perayaan Hari Guru Nasional tanggal 25 November lalu, wah, bukan main guru kelas mendapatkan hadiah. Sampai-sampai ada guru yang membawa hadiahnya itu harus diikat dibelakang motor, saking banyaknya gift yang diterima.Â
Lalu, guru yang lain bagaimana?
Mbuh, sudah bersyukur disalami dan ditegur sapa. Alhamdulillah banget.Â
Tapi kami para guru biasa tidak masalah dengan hal itu. Benaran. Sebagai pengamat, fenomena ini cukup menarik, bahwa guru itu terdefinisi kepada mereka yang punya perhatian lebih banyak kepada siswa-siswi.
Maklum saja, para guru mapel itu sekadar masuk ke kelas sudah alhamdulillah. Sudah rahasia umum, guru mapel jarang masuk dengan seribu alasan klasik; sakit, mengurus administrasi, menjadi utusan sekolah, menghadiri undangan dinas, menginput BKU, wah masih banyak lagi alasannya.
Jadi ya wajar saja, guru yang betulan pure guru itu hanya wali kelas. Guru Kelas. Bukan guru abal-abal yang jarang masuk kelas dan lebih banyak memberikan jamkos ke anak-anak.
Kita ucapkan lagi, Selamat Hari Guru 'Kelas' Nasional.Â