Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lowongan Kerja

19 Oktober 2022   08:49 Diperbarui: 19 Oktober 2022   08:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak yang baru lulus sekolah sangat euforia sekali dengan kelulusannya. Corat-coret baju menjadi kebiasaan tahunan dan bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah. Aneh sekali, mengapa ada orang yang menganggap perbuatan itu sebagai perbuatan yang biasa?

Di luar sana, masih banyak anak-anak terlantar yang sebenarnya ingin sekolah, namun terkendala problematika ekonomi. Seharusnya, para pelajar yang lulus tersebut merayakan kelulusan dengan bersyukur dalam wujud yang lebih baik. Santunan, selamatan, atau melakukan pengabdian skala mikro di masyarakat. Itu jauh lebih berguna dan bermanfaat. 

Gerbang berikutnya setelah lulus sekolah, banyak dari mereka melanglang buana di penjuru negeri. Ada yang melanjutkan studi, ada pula yang mencoba keberuntungan di dunia kerja. Konon, negeri ini penuh dengan misteri. Hanya mereka yang punya koneksi dan relasi orang dalam yang mendapatkan pekerjaan. 

Baca juga: Empati Telah Hilang

Ah, tentu saja tidak mungkin. Bukankah negeri ini telah menghapus istilah KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme? Tentu saja semua orang punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan. Semua bisa bekerja sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. 

Baiklah. Itu adalah teori terindah yang pernah didengar oleh pejuang amplop coklat. Nyatanya, banyak dari mereka lulusan sekolah yang mati-matian berjalan dibawah terik mentari untuk mencari kerja, mengantarkan lamaran dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. 

Anak pejabat, pegawai terhormat, hingga kolega yang punya koneksi di perusahaan ataupun instansi plat merah, mudah sekali bekerja. Lulusnya sama-sama, gajiannya masing-masing. 

Apalah arti seorang anak petani kampung, yang datang mengadu nasib di ibu kota. Apalah daya anak tukang jamu yang bisa bersekolah saja sudah bersyukur. 

Negeri ini penuh misteri. Teori dan fakta saling kontradiksi. Katanya, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Nyatanya, keadilan bagi orang atas yang berduit saja.

Salah generasi muda juga ada. Mereka terlalu menaruh harapan yang besar pada pemerintah. Berharap, setiap tahun lapangan kerja selalu terbuka lebar. Ia lupa, setiap tahun juga, jutaan anak sekolah lulus dengan menggenggam kemampuan yang beraneka ragam. 

Setiap waktu, perkembangan dunia santat pesat. Jika dulu melamar kerja harus berpeluh keringat mendatangi satu per satu perusahaan yang hendak dilamar, kini cukup dari rumah, semua perusahaan dapat di-apply. 

Banyak situs yang menawarkan kerja yang menantang, seperti menulis, eduti konten, atau analisis data, yang ounya peluang gaji menjanjikan dan bekerja lintas negara. Tapi, banyak pemuda bilang cari kerja itu susah. 

Sebenarnya, yang susah itu mencari kerja atau mencari jati diri?

Turunkan gengsi, redam ego diri, jalani hari dengan syukur. Itu lebih baik dari sekadar bercakap tanpa arti. 

Jadi, apakah lapangan kerja yang terbatas  atau hati kita yang kurang luas?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun