Di Indonesia pada umumnya dikenal sebuah istilah yang familiar di telinga masyarakat, yakni tasyakuran. Maknanya adalah wujud syukur shohibul hajat terhadap sesuatu, atau karena mendapatkan sesuatu yang berharga.Â
Misalnya, dapat kesempatan kenaikan pangkat, ulang tahun anak, pergi umroh, atau sekadar meresmikan rumah baru. Semua dikemas dalam bentuk acara, ada makan-makannya, ada baca doanya, ada pengajiannya, plus terkadang ada dangdutannya. Rangkaian acara tadi disebut syukuran, atau tasyakuran oleh masyarakat kita.
Boleh-boleh saja diksi syukur itu dimaknai secara luas. Toh, niatnya adalah bersyukur atas karunia Tuhan yang telah didapat. Sah-sah saja orang mau mengadakan acara tasyakuran. Tamu undangannya juga dilayani dengan baik, diberi makan, minum hingga hiburan dan sambutan yang ramah tamah dari tuan rumah.
Tetapi ada hal yang mengganjal dari penyelenggaraan tasyakuran yang dikenal masyarakat kita. Lumrahnya, acara tasyakuran dilaksanakan lebih dari 3 jam. Apalagi mereka yang memakai jasa dangdutan, tentu saja acara tersebut berlangsung lebih dari setengah hari. Ada hal-hal yang harus diperhatikan secara detail, diantaranya adalah waktu sholat.
Terkadang tuan rumah, atau yang punya hajat, sangat senang dan gembira hingga terlampaui berlebihan dalam memaknai rasa syukur. Seoalah-olah menghabiskan sebagian uang mereka untuk berbagi makanan dan kesenangan dengan orang lain adalah cara bersyukur terbaik. Tapi mereka lupa, ketika kesenangan tersebut berbuah maksiat bahkan mengundang murka dari Tuhan.
Bagaimana tidak dikatakan mengundang murka Tuhan, gara-gara sibuk tasyakuran tapi lupa waktu sholat. Masih mending sholatnya telat, walaupun itu tidak juga baik, daripada memaksakan acara tasyakuran tapi tidak sholat.
Apalagi di acara-acara walimah nikah, resepsi yang panjang waktunya, sangat sering pengantin dan keluarga meninggalkan waktu sholat. Padahal, maksud walimah tersebut adalah wujud rasa syukur karena diberikan nikmat berupa nikah, atau berkumpul bersama keluarga. Tetapi dibalik perbuatan tasyakuran, ada hati dan raga yang tidak bersyukur kepada nikmat Allah berupa sholat.
Lalu, apakah ada tasyakuran tanpa bersyukur?
Itulah yang kebanyakan dipraktekkan oleh sebagian besar masyakarat Indonesia. Masyarakat majemuk dan menjunjung tinggi nilai toleransi. Bahkan, toleransinya sampai bablas karena ketinggalan waktu sholat. Kalau sudah begini, kan jadi repot. Maunya dapat berkah, tahu-tahu malah dapat laknat dan murka.
Hidup itu semengerikan ya.Â
Orang yang sekolah tinggi saja belum tentu mampu mencerna makna bersyukur. Maka, berdoalah selalu agar hati dan raga ini pol-polan dalam bersyukur pada Allah.
Bersyukur dengan mengadakan suatu acara jamuan, bersyukur juga dengan tidak meninggalkan kewajiban. Selaras dan sejalan antara niat dan perbuatan. Jangan karena hanya ingin dipuji orang sebagai hamba yang bersyukur sebab acara tasyakuran, kita menjadi manusia kufur dihadapan Sang Pencipta karena menentang titah Tuhan.
Tasyakuran harus jadi wadah bersyukur, baik bagi yang punya hajat, maupun untuk tamu undangannya.
Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka akan ditambah lagi nikmat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H