Hajat hidup manusia tidak pernah terlepas dari energi. Pemanfaatan energi digunakan pada banyak sektor, baik untuk urusan dapur ataupun transportasi, semua membutuhkan energi. Karenanya, negara mengatur pengelolaan sumber energi agar dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.Â
Undang-undang melegitimasi pekerjaan pemerintah terkait hal tersebut, Pancasila menjadi dasar untuk distribusi energi kepada seluruh rakyat Indonesia, melalui keadilan sosialnya.
Kebijakan pemerintah akhir-akhir ini perlu mendapatkan pandangan yang berwarna. Tidak serta-merta ditolak karena kebencian, pun tetap harus dikritisi agar dapat memberikan masukan yang membangun. Konversi energi bukan barang baru di negeri kita.Â
Dulu sejak tahun 2000an ke atas, pemerintah telah berupaya melakukan konversi energi, semula masyarakat yang terbiasa menggunakan minyak tanah sebagai kebutuhan bahan bakar, melalui kebijakannya, pemerintah mengalihkan penggunaannya menjadi gas elpiji.
Sebagai barang baru, tentu saja gas elpiji masih asing dan penuh kekhawatiran. Apalagi masyarakat kita lebih dominan melihat dari segi ekonomis, dimana asumsi beredar deras jika menggunakan gas akan merogoh kocek lebih dalam daripada minyak tanah. Belum lagi berita gas bocor, meledak dan membakar rumah warga yang terus beredar menakut-nakuti masyarakat.
Tetapi pemerintah keukeuh untuk bermain dalam kebijakannya. Sebagai wujud dukungan program konversi energi tersebut, pemerintah memberikan bantuan kompor dan tabung gas elpiji kepada masyarakat, yang katanya kurang mampu, untuk mendapatkan kemudahan akses peralihan penggunaan energi.
Jika dilihat, sejauh ini lancar-lancar saja. Walaupun masih banyak orang yang mengeluh karena kelangkaan gas dan harganya yang selangit. Bahkan setelah berjalan beberapa tahun, keberadaan minyak tanah masih dibutuhkan sebagian masyarakat.
Perjalanan kebijakan pemerintah ternyata sangat banyak warnanya. Katanya, gas melon yang berukuran 3 kg itu adalah subsidi yang diperuntukkan kepada masyarakat miskin. Sampai-sampai ditabung berwarna hijau itu tertulis jelas untuk masyarakat miskin.
Hal itu menjadi dalih beban negara, katanya subsidi tidak tepat sasaran dan dinikmati oleh orang-orang yang salah. Lagipula, dikarenakan suplay listrik di negara tercinta ini, menurut PLN, mengalami over suplay, sehingga perlu melakukan suatu terobosan, khususnya dalam konteks pemanfaatan dan pengelolaan energi.
Hadirlah sebuah wacana kompor listrik, dimana pemerintah bermaksud melakukan kembali kebijakan konversi energi, dari penggunaan gas elpiji ke kompor listrik.Â
Ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan tersebut. Pertama, karena stok listrik negara saat ini dan nanti berlebih. Kedua, sebagai upaya menghemat energi gas dan anggaran subsidi pemerintah.
Entah apa yang dipikirkan oleh elite kita di atas sana, tetapi kebijakan ini offside. Jika stok listrik melimpah ruah, nyatanya masih ada lebih dari 2000 desa di seluruh Indonesia yang belum teraliri listrik.Â
Membantah argumen itu, pemerintah berdalih lagi, bahwa pasokan listrik yang banyak itu ada di Jawa dan Sumatera, sementara daerah yang kekurangan listrik ada di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur.
Pun jika kebijakan ini terlaksana, upaya menghemat anggaran negara dengan mengalihkan subsidi gas elpiji hanya omong kosong saja. Sosialisasi kompor listrik berikut pengadaannya sudah mencapai triliunan rupiah.Â
Pemerintah berencana gelontorkan 5 triliun untuk membagikan kompor listrik secara gratis kepada masyarakat, jika program ini berjalan. Sama saja keluar duit banyak.
Tetapi anehnya, kebijakan ini batal sebelum terwujud. Jika menggunakan istilah kakek-nenek, kalah sebelum bertanding. PLN sebagai inisiator program tidak memberikan alasan secara spesifik. Pihak BUMN juga demikian, ngikut saja kata anak perusahaannya.
Jadi sebenarnya, program kompor listrik ini apakah sebuah solusi ketahanan negeri, atau hanya konspirasi elite untuk menarik simpati? Jangan-jangan semuanya hanya permainan politik energi.
Niat pemerintah menjaga ketahanan energi harus diapresiasi. Hanya saja caranya perlu ditinjau kembali agar tak menuai polemik yang berlebihan. Segala sesuatu harus diperhitungkan secara matang, apalagi untuk ukuran sekelas negara besar.
Kebijakan ini juga bisa saja sebagai dalih mencari simpati publik menjelang tahun politik. Koar-koar di media karena kebijakan hebatnya bisa dijadikan senjata menaikkan elektabilitas. Seolah-olah dia adalah paling berjasa dalam menjaga ketahanan energi dan patut diberikan kesempatan memimpin negeri.
Semua hal tentang energi diatas sebenarnya bagian dari politik energi. Pemerintah sedang bermain dalam kebijakannya. Sebagaimana permainan pada umumnya, ada menang dan kalah. Ada untung dan rugi.
Serugi-ruginya orang yang bermain, tentu akan merasakan sensasi dan kesenangan. Tetapi bagi mereka yang ada diatas sana, tak ada istilah rugi.Â
Mereka sama-sama untung, dan bermain dalam konteks yang berbeda. Mereka yang bermain, tetapi rakyat yang menderita. Hidup baginya hanya sekadar uji coba. Jika berhasil dapat penghargaan, jika gagal rakyat yang merasakan.
Kalau begitu konsepnya, apes juga jadi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H