Entah apa yang dipikirkan oleh elite kita di atas sana, tetapi kebijakan ini offside. Jika stok listrik melimpah ruah, nyatanya masih ada lebih dari 2000 desa di seluruh Indonesia yang belum teraliri listrik.Â
Membantah argumen itu, pemerintah berdalih lagi, bahwa pasokan listrik yang banyak itu ada di Jawa dan Sumatera, sementara daerah yang kekurangan listrik ada di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur.
Pun jika kebijakan ini terlaksana, upaya menghemat anggaran negara dengan mengalihkan subsidi gas elpiji hanya omong kosong saja. Sosialisasi kompor listrik berikut pengadaannya sudah mencapai triliunan rupiah.Â
Pemerintah berencana gelontorkan 5 triliun untuk membagikan kompor listrik secara gratis kepada masyarakat, jika program ini berjalan. Sama saja keluar duit banyak.
Tetapi anehnya, kebijakan ini batal sebelum terwujud. Jika menggunakan istilah kakek-nenek, kalah sebelum bertanding. PLN sebagai inisiator program tidak memberikan alasan secara spesifik. Pihak BUMN juga demikian, ngikut saja kata anak perusahaannya.
Jadi sebenarnya, program kompor listrik ini apakah sebuah solusi ketahanan negeri, atau hanya konspirasi elite untuk menarik simpati? Jangan-jangan semuanya hanya permainan politik energi.
Niat pemerintah menjaga ketahanan energi harus diapresiasi. Hanya saja caranya perlu ditinjau kembali agar tak menuai polemik yang berlebihan. Segala sesuatu harus diperhitungkan secara matang, apalagi untuk ukuran sekelas negara besar.
Kebijakan ini juga bisa saja sebagai dalih mencari simpati publik menjelang tahun politik. Koar-koar di media karena kebijakan hebatnya bisa dijadikan senjata menaikkan elektabilitas. Seolah-olah dia adalah paling berjasa dalam menjaga ketahanan energi dan patut diberikan kesempatan memimpin negeri.
Semua hal tentang energi diatas sebenarnya bagian dari politik energi. Pemerintah sedang bermain dalam kebijakannya. Sebagaimana permainan pada umumnya, ada menang dan kalah. Ada untung dan rugi.
Serugi-ruginya orang yang bermain, tentu akan merasakan sensasi dan kesenangan. Tetapi bagi mereka yang ada diatas sana, tak ada istilah rugi.Â
Mereka sama-sama untung, dan bermain dalam konteks yang berbeda. Mereka yang bermain, tetapi rakyat yang menderita. Hidup baginya hanya sekadar uji coba. Jika berhasil dapat penghargaan, jika gagal rakyat yang merasakan.