Sisa utang di sekolah, masih belum terbayarkan hingga semester kedua. Mau bagaimana lagi, uang tak punya, kerja seadanya, utang dimana-mana. Orang miskin seperti keluarga kami hanya butiran debu di dunia. Tak pernah dipandang orang-orang di atas sana. Kalaupun dipandang, bagaikan sales vacum cleaner, hanya dicari untuk promosi jabatan. Selebihnya, dibuang jauh dari kehidupan.
Tak apalah, sudah biasa kami menerima janji manis para elite.
Hari Selasa, benar-benar membuatku terpukul. Uang jajan yang aku kumpulkan untuk membeli pensil warna, diminta paksa oleh sekolah. Katanya, manusia harus menyisihkan sebagian rezeki yang dimilikinya agar mengerti apa itu berbagi.
Aku hampir gila hidup di negeri ini. Katanya, sebagian rezeki harus disisihkan. Lah, hidup keluarga kami saja rezekinya hanya sebagian. Mereka tidak pernah tahu atap rumah kami bocor, listrik mati sudah dua pekan karena tak mampu bayar, belum lagi ibu yang saban hari harus minum obat karena penyakitnya.
Tapi aku tetap memberikan uangnya. Tak apalah. Sesekali perlu berbagi, agar hidup semakin berwarna.
Sepulang sekolah, aku selalu membantu ayah menyortir barang-barang bekas yang telah dikumpulkan. Hasilnya lumayan untuk ukuran anak kelas 7 seperti ku. Sekadar bisa membeli pentol kuah tiap Jumat sudah Alhamdulillah.Â
Sebagiannya aku sisihkan untuk membeli pensil warna.Â
Aku harus terus mengasah kemampuan ku dalam menggambar dan mewarnai. Aku ingin jadi seniman. Persetan mereka yang berjuang menjadi ASN. Terserah mereka. Aku tak ingin masuk dalam lingkaran setan. Para pegawai hanya duduk diam dan berselancar di dunia maya. Uang rakyat tergerus hanya untuk membayar mereka yang bersantai-santai di kantor dingin dan bebas dari asap kendaraan.
Namun, saat hari Selasa kembali tiba, aku termenung di pojok sekolah. Bukan karena lupa sarapan atau tertinggal buku pelajaran. Bukan pula SPP yang belum dibayar, hal itu sudah biasa dan staff bendahara maklum dengan keadaan keluarga kami.Â
Tetapi hal yang mencengangkan itu kembali menghantui sanubari. Menggores hati, menyayat dada, melukai segenap perasaan batin ku.
Sekolah masih menarik iuran infaq.
bersambung...