Air susu dibalas dengan air tuba.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kalimat diatas merupakan sebuah peribahasa yang sangat familiar ditelinga kita. Sedari dulu duduk dibangku sekolah dasar, lantunan berbagai peribahasa terus mengiang diantara ruang belajar, seakan-akan itu adalah materi yang amat dalam maknanya.
Ketika beranjak dewasa barulah kita menyadari, bahwa tidak selamanya kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Nyatanya, ada kebaikan yang dilupakan karena satu kesalahan. Ribuan hal baik hilang dalam sekejap sebab setitik noda yang mekar diwaktu senja.Â
Jangankan persahabatan, kekeluargaan pun akan retak karena noda kesalahan yang dibuat seseorang. Manusia begitu adanya, melihat setitik noda hitam diantara luasnya kain putih yang membentang dari Timur ke Barat.
Tetapi, apakah kebaikan terus dibuat sementara ia tidak terbalaskan?
Tentu saja demikian.
Sesuatu yang dimulai karena adanya kebaikan, tidak boleh terhenti hanya karena penilaian manusia. Perjuangan adalah merebut kemerdekaan berpikir, berbuat, bertindak atau pun merenung dalam diam. Maka raih semuanya dengan genggaman kebaikan yang mengepal ditangan suci.
Kebaikan manusia itu fana, pasti akan lenyap pada masanya. Sebab seluruh elemen dunia pasti hancur. Hanya kebaikan yang dilatarbelakangi iman, tetap akan kekal abadi. Sebab terdiri atas cahaya kebenaran dari dustur Ilahi.
Maka, jangan sampai rusak kebaikan yang dipersembahkan untuk Tuhan hanya karena hinaan manusia. Berhenti berbuat baik adalah awal dari kehancuran hidup. Ibadah yang dilakukan sepanjang masa, ritual yang dikerjakan setiap hari, atau safari ke tanah suci, adalah sebuah kebaikan yang terstruktur. Boleh jadi menjadi penyelamat hidup, ataupun sebaliknya, melaknat diri sendiri.
Siapa saja yang merasa cukup untuk berbuat baik, disitulah awal transisi seseorang hilang kebaikan dalam dirinya. Kebaikan harus terus menerus didulang, setiap hari, setiap waktu dan setiap saat. Baik berdiri, duduk ataupun tersimpuh diatas sajadah tua dibelakang pintu.