Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Aku dan Warna Kehidupan

11 Juni 2022   08:27 Diperbarui: 11 Juni 2022   08:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pada awalnya, aku mengira, bahwa apa yang terlihat oleh mata zahir ini, adalah normal dan dapat dilihat oleh semua orang. Pun demikian dengan batin yang merasakan atmosfer sosial, pastilah semua orang merasakan juga.

Kehidupan yang hitam dan putih, cahaya mentari yang redup masuk menyelinap dibawah kolong tempat tidur, atau lampu yang mati-menyala secara terus menerus, adalah kehidupan normal bagi setiap manusia. Mindset itu terus aku pegang sekuat mungkin. Sedari kecil, aku mengira semuanya sama seperti yang aku rasakan. Karena seperti itulah kehidupan.

Tetapi, jantung ini harus berdetak lebih keras. Otak ini harus berpikir lebih cepat, logika ini harus menjalar pada kehidupan yang lebih luas. Di depan sana, terbentang luas kehidupan nyata lintas warna. Tidak hanya hitam dan putih saja. Hamparan rumput yang hijau, laut yang biru, atau beraneka ragam makhluk yang membentuk komunitas kebahagiaan.

Apa yang salah dengan ku? Apakah aku buta, atau matinya rasa sosial dalam tubuhku?

Di sore hari, aku melihat sebuah keluarga kecil yang berjalan di pertigaan kota. Saling tawa dan penuh bahagia. Aku berjalan membuntuti mereka, menyelinap masuk pada kehidupannya. Ingin mengkomparasikan, apakah benar ada dua sisi kehidupan, yakni sisi terang dan gelap?

Setiap hari mereka tertawa, tersenyum, tiada beban. Keluarga ini bahagia, tiada teriakan singa, auman macan, atau desisan ular yang berjalan cepat diantara semak belukar.

Berbeda sekali ketika mataku dibuka saat di rumah. Amarah suci tiada tertahan, amukan keluarga senantiasa berulang. Batinku tertekan, jiwaku terkekang. Aku adalah anak yang tidak diharapkan. Tetapi juga tidak dilepaskan pergi meninggalkan perkampungan.

Aku tidak pernah merasakan kelembutan, dekapan cinta, atau sekadar hadiah bunga yang dibungkus kertas kado. Aku adalah pelengkap penderitaan para tetua. Hidup di rumah, bagaikan hidup di penjara. Semua impian sulit dicapai, semua harapan terkubur mimpi.

Berlalu hari berganti bulan, perasaan yang aku rasakan seakan menyerap seluruh dunia nyata. Aku tidak melihat lagi kehidupan ini indah, seperti yang kebanyakan orang melihatnya. Tidak ada pohon apel, sungai yang mengalir, jembatan yang kokoh, atau bangunan pencakar langit.

Hidupku adalah butiran debu di padang pasir. Tiada bertepi, tiada berlabuh, berterbangan tiada henti.

Perasaanku sekarang, tidak menjadikan aku seorang yang berpikir. Perasaan ini merenggut kemampuan berpikirku. Aku bagaikan penonton bioskop, yang hanya melihat layar tancap besar, tetapi tidak mampu merubah ceritanya. Aku hidup, seakan-akan hanya menjalani peran yang tiada aku gemari. Gelap gulita selalu menyelimuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun