Dalam sebagian perspektif masyarakat, sesuatu yang dulu nampak tabu kini nampak wajar-wajar saja. Zaman yang kian berkembang pesat semakin mempermudah akses sirkulasi paradigma sosial masyarakat yang tanpa filter.Â
Sesuatu yang dahulu sangat dijaga dan dihormati, kini seperti bebas tanpa sekat pembatas. Meski sudah ada norma-norma yang mengikat, mereka seakan kebal dan jusru tetap melakukan hal yang tak beradab. Mengapa? Karena satu. Adat istiadat.
 Tidak dapat kita pungkiri, lingkungan yang demikian dapat memberikan negative effect bagi hidup seseorang. Orang yang dahulu berakhlak mulia dapat terjerumus dalam gelimang dosa.Â
Orang yang taat dan patuh pada perintah agama dapat lalai menjauhi larangan Tuhan-Nya. Lantas, apa kabar orang yang sedari dahulu memang sudah berada dalam circle keburukan? Sedari kecil berada dalam lingkungan yang amoral. Tentu tidak dapat dibayaangkan bukan?
Sebuah tata aturan tanpa aksara sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia. Berawal dari ucapan, kemudian menjadi perbuatan. Perbuatan yang dilakukan secara kontinue menjadi kebiasaan.Â
Kebiasaan tersebut lama-kelamaan akan menjadi adat yang menurut Koen Cakraningrat merupakan bentuk perwujudan dari kebudayaan yang digambarkan sebagai tata krama atau cara berperilaku. Ia adalah norma atau aturan yang tidak tertulis, tapi bersifat mengikat sehingga apabila ada masyarakat yang melanggarnya, maka akan dikenai sanksi
Sebut saja satu contoh adat budaya yang masih berlaku di masyarakat Indonesia dan mungkin di beberapa belahan di dunia adalah adat patriarki. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul "Pengantar Gender dan Feminisme", patriarki berasal dari kata patriat, berarti struktur yang meletakkan posisi laki-laki sebagai penguasa tunggal, pokok dan segala-galanya.Â
Meskipun Indonesia adalah negara hukum tetapi nyatanya payung hukum tersebut belum cukup kuat untuk mengalahkan kekuatan aturan adat. Alasannya pun sederhana, perempuan masih dianggap hanya boleh bergerak dalam ranah domestik. Jadi, tidak ayal apabila adat patriarki masih terus merajalela di tengah arus modernisasi dunia.
Sistem patriarki yang masih mendominasi kebudayaan masyarakat akan memberikan dampak negatif berupa kesenjangan dan ketidakaadian gender. Patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang tinggi dan berkuasa membuat kaum perempuan menjadi kaum inferior atau termarginalkan dalam segala bidang, baik dalam sosial, politik, hukum, pendidikan maupun ranah pernikahan sendiri. Pembatasan-pembatasan perempuan oleh budaya patriarki menyebabkan sulitnya perempuan dalam mengakses sarana dan prasarana masyarakat.Â
Selain itu, kebijakan pemerintah yang kerap kali tidak memihak perempuan dalam artian kurang menyesuaikan kebutuhan perempuan membuat kaum perempuan terjebak dalam kebijakan pemerintah yang pada hakikatnya merugikan kaum perempuan.
Pada masa kini, ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan, praktik budaya patriarki masih terjadi. Hal ini dapat dilihat dari problematika-problematika yang muncul dari aktivitas domestik, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.Â
Ketika dilihat lebih dalam melalui pendekatan masalahnya, problematika yang timbul oleh patriarki masuk ke dalam system blame approach yaitu permasalahan yang diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapan.Â
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini dan stigma mengenai perceraian terjadi karena sistem budaya yang menghendaki hal itu terjadi.
Salah satu yang menjadi dampak adat patriarki yang telah disebutkan di atas yaitu kekerasan seksual. Kekerasan seksual menyapa pendengaran masyarakat, mulai dari yang taraf mikro hingga makro. Korbannya pun beragam umurnya, bahkan anak perempuan yang masih balita juga dijadikan sasaran.
 Lantas, dimanakah letak perikemanusiaan? Padahal manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Dengan adanya akal, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang sifat binatang.
Allah berfirman dalam QS. Al-a'raf ayat 33:
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".
Dalam surat tersebut, sudah dijelaskan dengan tegas bahwa perbuatan yang melampaui batas seperti melakukan kekerasan seksual adalah haram hukumnya, sehingga seseorang akan memperoleh dosa jika tetap melakukannya. Naudzuubillah. Oleh sebab itu, manusia harus memperbaiki iman dan tingkat ketakwaan kepada Allah agar terhindar dari tindakan yang menyimpang.
Miris bila melihat fenomena kekerasan seksual di atas. Padahal, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi perilaku atau akhlak masyaratnya kurang mencerminkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam ajaran agama.Â
Oleh sebab itu, diperlukan sebuah gerakan yang lebih masif mengenai urgensi kesetaraan gender di masyarakat guna masa depan yang lebih lanjut. Mengingat berbagai problematika sosial yang masih marak terjadi akibat adat patriarki.
Demi terciptanya keharmonisan bermasyarakat dan bernegara, maka marilah bersama-sama kita saling menjaga kondisi sekitar dengan mencegah tindakan-tindakan yang menuju pada perundungan perempuaan.Â
Mari kita perjuangkan hak-hak kaum perempuan agar tidak lagi tertindas. Semoga perempuan segera terbebas dari belenggu ketidakadilan gender, sehingga mudah untuk mengembangkan diri dan lebih berpartisipasi secara aktif dalam ranah publik maupun domestik. Wallahu a'lam bi al-shawaab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H