Mohon tunggu...
Wahyuni Tri Erna
Wahyuni Tri Erna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasantri di Daar al-Qalaam Semarang

Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang. Karya Buku: Generasi Melek Lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Hikmah

22 Juli 2023   17:29 Diperbarui: 22 Juli 2023   17:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini cukup melelahkan. Di bawah guyuran sinar mentari, punggung ini tidak berhenti untuk sekadar rehat sejenak. Aku terus mencari sesuatu dalam air yang selama ini menjadi penyambung hidupku. Tidak tanggung-tanggung, peluh keringat terasa membanjiri tubuh atasku. Namun, tidak dengan kakiku. Kakiku justru dihantam dingin yang menjadikannya seolah-olah mati rasa.

Selepas Ayahku tiada, aku terpaksa menjadi tulang punggung keluarga membatu perekonomian Ibu. Meski aku perempuan, sebagai anak pertama aku harus kuat menghadapi masa-masa sulit ini. Terhitung sudah satu bulan aku melakoni perkerjaan ini, menjadi pencari keong sawah. Ini hanya satu-satunya jalan yang bisa saya lakukan untuk membantu Ibu.

"Alhamdulillah. Hari ini dapat hasil lumayan banyak," gumamku bersyukur.

Akhirnya setelah matahari ada di ufuk barat, aku menyudahi pencarianku. Aku pun segera membawanya ke pengepul. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Kalau dari sawah harus melewati sungai dan kebun teh yang menyejukkan mata. Baru setelah itu, aku dapat menjumpai perumahan warga. Hasil penjualan keong ini akan aku gunakan untuk biaya sekolahku dan adikku.

"Lima belas ribu ya, Dek," kata Pak Slamet sambil menyodorkan uang padaku.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

Aku terima uang hasil penjualan keong itu dengan raut wajah gembira. Meski tidak seberapa, tapi aku sangat bersyukur. Setidaknya aku dapat meringankan beban Ibu. Hingga tidak terasa ada gejolak air mata di pelupuk mataku. Sebelum jatuh, dengan segera mungkin aku menghapusnya. Aku tidak mau air mata itu menjadikanku lemah. Aku tidak mau Ibu dan adikku melihatnya.

Kini, sinar mentari benar-benar sudah hilang ditelan bumi. Langit pun berganti gelap. Aku semakin mempercepat langkahku agar segera sampai di rumah tercintaku. Rasanya aku tidak sabar berjumpa dengan Ibu dan Lea, adikku. Namun sebelum itu, aku mampir ke warung terlebih dahulu membeli kerupuk dan kecap untuk lauk makan malam keluargaku. Membayangkan saja, perutku sudah berbunyi minta segera diisi.

Sampai di dekat warung, aku melihat ada seorang Nenek tua yang hendak membeli telur dan minyak goreng. Semakin kudekati, Nenek itu justru mengembalikan lagi barang yang sudah dia pegang. Karena penasaran, akhirnya kuberanikan diriku bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun