Mohon tunggu...
Wahyuni Ramadhani
Wahyuni Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mendengarkan musik, jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Pencerahan

2 Desember 2024   06:35 Diperbarui: 2 Desember 2024   06:36 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu sore, setelah berbuka puasa, Adi berjalan melewati pasar dan melihat seorang ibu tua yang sedang kesulitan membawa belanjaannya. Dengan hati yang ikhlas, Adi mendekat dan membantunya. Ibu tua itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Terima kasih, Nak. Kamu sangat baik hati."

Adi tersenyum sambil berkata, "Tidak masalah, Bu. Ini hanya sedikit yang bisa saya bantu." Hati Adi terasa hangat. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan---kebahagiaan yang datang bukan dari sekadar memenuhi kewajiban puasa, tetapi dari kebaikan hati yang ia berikan kepada sesama.

Saat malam tiba, Adi duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Pak Hadi menatapnya dengan penuh rasa bangga. "Adi, kamu sudah mulai memahami esensi dari Ramadhan, bukan?"

Adi menunduk, merenung sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Ayah. Sekarang saya mengerti bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari hal-hal buruk yang dapat merusak hati. Saya mulai merasa bahwa Ramadhan ini membawa kedamaian dan kebahagiaan yang sejati."

Pak Hadi tersenyum penuh kebanggaan. "Itulah Ramadhan, nak. Sebuah bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan. Di bulan ini, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. Seperti yang Rasulullah ajarkan, 'Puasa adalah pelajaran untuk memperbaiki akhlak kita, agar kita menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pemaaf, dan lebih baik dalam menjalani hidup.'"

Adi menatap wajah ayahnya dengan penuh rasa syukur. Ia merasa, selama ini, ia telah menjalani Ramadhan dengan cara yang salah. Kini, ia bertekad untuk menjadikan setiap Ramadhan sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, tidak hanya dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam hal berinteraksi dengan sesama.

Pada malam terakhir bulan Ramadhan, ketika Adi dan keluarganya bersiap untuk melaksanakan salat tarawih terakhir, ia merasakan kedamaian yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah hati dan jiwanya telah bersih dari segala kekotoran, dan ia pun berdoa, "Ya Allah, jadikanlah aku orang yang lebih baik setelah Ramadhan ini, yang senantiasa menjalani hidup dengan ikhlas, sabar, dan penuh kasih sayang kepada sesama."

Hari raya Idul Fitri tiba, dan Adi merayakannya dengan hati yang penuh kebahagiaan. Bukan karena ia bisa kembali makan dan minum sepuasnya, tetapi karena ia telah menjalani Ramadhan dengan penuh makna. Seperti yang diajarkan oleh ayahnya, bahwa puasa adalah pelajaran hidup yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik dalam segala aspek.

Adi pun menyadari bahwa Ramadhan bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan awal dari transformasi diri yang lebih baik. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW, "Seseorang yang berpuasa dengan benar akan merasakan kebahagiaan dua kali, pertama saat berbuka, dan kedua saat bertemu dengan Allah di akhirat."

 Adi kini merasa bahwa kebahagiaan itu telah ia rasakan di dunia, dan ia berharap bisa melanjutkan perjalanan hidupnya dengan penuh kebaikan, bukan hanya selama bulan Ramadhan, tetapi sepanjang waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun