Mohon tunggu...
Rida Darmanto
Rida Darmanto Mohon Tunggu... -

English Teacher

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Padi, Pohon Kelapa, dan Buah Kurma

6 Juni 2013   12:33 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 11700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran hidup apakah yang bisa kita petik dari tanaman padi, pohon kelapa, dan buah kurma? Tulisan di bawah ini diturunkan dari tulisan berbahasa Jawa di sebuah Mingguan berbahasa Jawa yang membahas mengenai filosofi hidup dilihat dari perlambang ketiganya.

PADI

Padi di sawah yang mendekati masa panen akan terlihat merunduk (tidak tegak) karena beban bulir padi yang berisi. Dengan kata lain, padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Dalam pergaulan hidup, ketika seseorang kebetulan dianugerahi Allah kepandaian/ilmu yang mumpuni, kekayaaan, dan pangkat kedudukan, hendaklah meniru padi, yaitu bisa bersikap rendah hati. Rendah hati berarti bukan sombong dan pongah memamerkan kepandaian atau ilmunya sehingga terdapat kecenderungan bahwa ia adalah yang paling pandai. Orang yang demikian akan selalu meremehkan yang lain dan sulit menghargai orang lain karena ia selalu merasa paling unggul di dunia ini. Sikap demikian itu disebut sikap yang adigang, adigung, adiguna, yang kurang lebih berarti mentang-mentang kaya, mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kuat.  Rendah hati di dalam filosofi Jawa adalah sikap andhap asor, yaitu sikap merendah tanpa menghilangkan wibawa.

Ketika berilmu tinggi dan mumpuni hendaklah seseorang tidak sombong (kumalungkung) atau bahkan membodohi serta mencederai orang lain. Kekayaan hendaklah tidak menjadikan seseorang pelit dan serakah. Ibarat minum air samudra semakin lama akan semakin terasa haus, tanpa batas. Sudah ada beberapa peristiwa di tanah air yang melambangkan sikap seperti ini. Tapi, toh akhirnya terlihat betapa serakah dan melanggar aturan moral dan agama. Begitu pula dengan masalah pangkat dan kedudukan. Bila Allah menganugerahkan derajat tinggi dengan menduduki suatu jabatan penting, hendaklah seseorang tidak menyalahgunakannya. Justru bersikaplah yang amanah dan kembalikanlah hak-hak serta manfaat dari perolehan kedudukan tersebut kepada kemashlahatan orang banyak. Menjadi pemimpin hendaklah tidak memiliki sifat murka, lupa daratan, dll. Bila ingin dihormati maka menghormatilah.

Singkatnya, orang Jawa percaya pada pepatah: sapa kang ngasorake diri bakal kaunggulake, lan sapa kang nggunggulake diri bakal diasorake. Artinya barang siapa yang bisa bersikap rendah hati, maka dirinya termasuk pribadi yang diunggulkan. Sebaliknya, barang siapa yang selalu meunggul-unggulkan dirinya akhirnya akan mendapati kehinaan.

POHON KELAPA

Pohon kelapa yang tinggi menjulang dengan daun-daunnya yang panjang melambai ditiup angin biasanya sering dijumpai di wilayah pesisir dan terkenal dengan sebutan nyiur melambai. Buahnya terletak di ujung atas pohon sehingga kita perlu memanjat hingga pada ketinggian tertentu untuk bisa meraih buahnya.

Dalam filosofi Jawa, pohon kelapa ditandai memiliki karakter kuat, pemaaf (tidak pendendam), ramah (tidak sombong), suka mengalah, dan kaya manfaat.

KUAT adalah sifat yang erat melekat pada fisik pohon ini karena postur pohon yang tinggi, gagah, tegak, teguh, besar, keras, dan ditunjang oleh kekuatan akarnya yang mencengkeram tanah. Perlambang yang bisa dicermati dari karakter fisik ini adalah kuatnya keimanan serta keteguhan jati seseorang dalam menjalani hidupnya agar selalu berpegang pada syariat agama yang dianutnya. Dengan demikian ia tidak akan mudah goyah (terpengaruh) tapi justru bisa berpengaruh, sehingga tidak mudah ambruk atau patah semangat.

PEMAAF adalah sikap yang sulit untuk dipraktekkan dalam hidup apabila kita memiliki sifat pendendam karena disakiti oleh orang lain. Pohon kelapa mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi 'rasa sakit' yang diakibatkan oleh orang lain dengan justru memberikan kemanfaatan dirinya kepada 'yang menyakiti'. Sifat ini dilambangkan melalui tataran (pijakan yang dibuat pemanjat pohon kelapa dengan cara membacok batang pohon sepanjang arah ke atas pohon untuk mendapatkan sang buah). Sang phon tidak merasa 'sakit' atau 'membalas' dengan perbuatan serupa. Sebaliknya, 'rasa sakit' itu dibalasnya dengan 'rasa senang' yang diperoleh oleh orang yang memanjat untuk mendapatkan buahnya. Dengan kata lain, kejelekan tidaklah dibalas dengan kejelekan melainkan justru dengan kebaikan. Bisakah kita memaafkan sebagaimana pohon kelapa melakukannya?

RAMAH terlihat pada bagaimana gerakan daun pohon kelapa (blarak) yang tertiup angin. Lambaian daun diibaratkan lambaian tangan persahabatan yang membawa rasa damai persahabatan serta keramah-tamahan meskipun posisi pohon adalah pohon yang paling tinggi dibandingkan dengan yang di sekitarnya. Filosofi yang bisa kita pelajari adalah bahwa sebenarnya kita diciptakan oleh Allah dalam kesetaraan, yaitu sama-sama makhluk Allah. Dengan merasa setara orang akan bisa merasakan empati pada orang lain dan bisa memiliki sikap ramah, bukan sombong. Artinya, bila kebetulan seseorang berada pada puncak kedudukan atau memiliki derajat atau martabat yang lebih tinggi di dalam masyarakat, hendaknya ia bisa menjaga sikapnya selalu dengan keramah tamahannya sehingga ia akan jauh dari sikap sombong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun