Mohon tunggu...
Wahyu Maulana Mustafa
Wahyu Maulana Mustafa Mohon Tunggu... Freelancer - Anak Guru

setiap karya sastra adalah kritik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Potongan Kisah: "Bukan Urusan Saya, Kamu Ahlinya!"

8 Juli 2020   17:08 Diperbarui: 8 Juli 2020   17:34 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh W. Mustafa, Editor: R. Mustafa dan AF. Mustafa, 7 Juli 2020.

Suatu pagi, di akhir di Oktober, 1986.

"Semua Proyek akan jalan! cepat (di)selesaikan! Tingkatkan target penyerapan! kita Harus dapat lagi Tahun Depan!"

"Target substansi, bagaimana? Outcome Orientasi, belum ada! anggarannya terbatas, kami belum siap ke daerah! tim tidak dapat mengumpulkan data"

"Hei bodoh! Itu bukan urusan saya, kamu ahlinya! Saya tidak mau rugi. Jangan lagi kamu bertanya., Kalau ada yang harus dikorbankan, kamulah orangnya!"

"Bukan ini yang kami cari., Kami tak ahli soal seperti ini., yang diutamakan seharusnya bukan perihal materi, Harapan kami, bapak tak memotong gaji"

**

Seorang laki-laki muda, bernama Sami,

Hari itu, seharusnya adalah hari seperti biasanya, di ruangan yang besarnya tak seberapa, dia tertunduk dicela pimpinannya. Sepuluh menit pertama dia ingin berontak, jantungnya memompa cepat, wajah coklatnya memerah, tangan dan lututnya gemetar.

Saat itu, Sami dikirim kembali pada masa lalu, masa-masa tenang dihidupnya, bak mesin waktu yang membawanya kembali ke usia kecil. Dalam ingatannya, Sami melihat dirinya yang belia dididik untuk memiliki rasa tanggungjawab juga tatakrama oleh ibu dan bapak. Ibu dan bapak yang berprofesi sebagai guru dengan gaji yang tidak banyak, “tidak banyak nak, akan menjadi banyak jika kalian menjadi orang benar”  dia masih ingat ungkapan itu ketika duduk berbincang ringan dengan si bapak, ditemani rokok kesayangan di jarinya yang tinggal separuh. 

Sami tumbuh menjadi sosok yang akrab dengan literasi, tak sedikit buku yang ia baca, ditanamkan prinsip-prinsip kebenaran serta ideologi yang lurus dilingkungan aktivis semasa sekolah. Sami di mata teman-teman seusianya adalah anak yang “gila” kompetisi. Sulit untuk menghitung perlombaan yang telah diikuti, hanyalah tumpukan piagam serta piala berbahan kaleng di sudut kamarnya, menjadi saksi atas banyaknya prestasi Sami. Itulah yang melekat padanya. Didalam rekaman memori, angin masih terasa sepoi-sepoi, sejuk menerpanya.

Tibalah Sami kini, di suatu pagi di akhir bulan oktober, setelah 3 bulan bekerja, angin sepoi-sepoi itu berubah, tak lagi sejuk menerpanya. Sami di cela, dia di ancam dengan pemotongan hak, dipaksa melawan masa lalu dan pendiriannya.

Sami masih tertunduk di depan meja yang berantakan, keringat di kepalanya mengalir, mulutnya  sulit untuk menelan ludahnya sendiri, tenggorokannya sakit, kelopak matanya mulai basah. “sialan! saya memilih tamparan yang berbunyi keras, dari pada caci-maki yang lembut dibisiki” batinnya meronta.

Menit-menit setelahnya Sami menemukan dua simpang jalan dalam kepalanya. Pertama, apakah karena gaji, dia harus patuh dan tetap duduk di kursi itu atau kedua, berdiri pulang, membawa harga diri yang utuh. Buka hal yang mudah, ini soal nasib, konsekuensi dari keputusannya tetap saja akan menyulitkan. Tidak hanya bagi Sami, harga diri sebagai pilihan kedua akan ditukar dengan nasib si Inar istrinya yang sedang hamil muda dan si Atma anaknya yang tahun besok akan masuk kuliah.

Sebelum Sami ingin bicara kepada pimpinannya, orang yang baru saja memaki itu menerima panggilan telepon. Samar-samar terdengar di ujung telepon itu ada seorang laki-laki lain berucap dengan serius, menyampaikan peluang baru untuk proyek yang lain. Wajahnya pimpinannya sumringah.

wahhh.. siap pak! ...Beres pak! ....Seperti biasa, Saya mengikut saja.”

Seperti ada yang tidak beres. Kalimat terakhir dari pimpinan itu membuat hening pembicaraan mereka, sesaat laki-laki di ujung telepon itu diam, membuat pimpinannya bingung tak mengerti.

Si penelpon melanjutkan dengan bertanya.

“oke, lalu bagaimana soal yang kemarin?”

Dengan terbata-bata dijawab oleh si pimpinan.

“anu pak,.. target substansi belum terpenuhi, akan sulit mencapai outcome yang direncanakan, Karena dibatasi anggarannya, tim kami belum bisa ke daerah-daerah, Tim tidak punya data untuk di olah.”

Sami tak mendengar keseluruhan pembicaraan ditelepon itu. Akan tetapi, Sami lebih dari paham apa isi pembicaraan yang terpotong-potong itu.

Dengan nada emosi, kalimat penutup dalam perbincangan itu terdengar oleh Sami.

saya tidak mau tahu!, Hei Pak, Itu bukan urusan saya! kamu ahlinya! Saya tidak mau rugi! Kalau ada yang harus dikorbankan, kamulah orangnya!"

sambungan telepon akhirnya diputus oleh orang itu.

Kali ini, si pimpinan menyadari bahwa dia tak sendiri di ruangan itu. Wajahnya merah pucat, keringatnya dikepalanya mengalir, tangannya menahan kepala bagian depan yang rasanya akan terlepas dari badan dan jatuh ke lantai, memikirkan nasib usahanya tahun depan.

kamu dengar sendiri, bukan?” 

nada bicaranya lain, menjadi lebih pelan,  berbeda dengan yang terdengar oleh Sami tiga puluh menit lalu.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi, dengan tekat yang bulat, jalannya telah ia pilih. Sambil mengangkat wajahnya, Sami lalu berdiri meninggalkan ruang kerja yang kusam itu, meninggalkan pimpinannya  yang heran dan tidak menyangka.

Sebelum tiba di pintu keluar, Sami berbalik lalu berkata.

“Sekali dan terakhir kali, Pak. Bukan ini yang kami cari! Kami tak ahli soal seperti ini! yang diutamakan seharusnya bukan cuma materi! Silahkan, kalau mau memotong gaji, hari ini juga, saya mengundurkan diri”

**

Menjelang  fajar yang sepi berteman bunyi sisa hujan semalam. Dalam sujudnya yang panjang, Sami memanjatkan syukur atas jalan kemerdekaan yang telah ia pilih. Bukan saja itu sebagai keputusan tunggal, karena ada dorongan yang besar ia rasakan turun dari sang Maha Tahu.

Jalan itu baru saja dimulai, Sami paham setelah ini akan datang ujian-ujian baru terhadap setiap keteguhan hati. Ombak kecil hingga yang besar seringkali tiba diwaktu sepi, adalah bagian dari proses penciptaan rona pantai yang indah memukau mata.

Begitu juga situasi ini, situasi yang merupakan  pecahan kecil dari besarnya cermin masalah yang ada di negara ini. Semua pikiran harus membacanya sebagai sebuah persiapan menuju kesempurnaan. Sami akhirnya paham, angin sepoi-sepoi yang menerpanya selama ini adalah bukan perihal situasi, tapi kemampuan memahami.

Sami bangun dari sujudnya yang dalam, kedua tangannya ditempelkan pada wajah yang masih dingin dan basah.

Seperti berbisik dia berkata.

“Ya Tuhan, ini bukan urusan saya. Engkau Ahlinya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun