Sami tumbuh menjadi sosok yang akrab dengan literasi, tak sedikit buku yang ia baca, ditanamkan prinsip-prinsip kebenaran serta ideologi yang lurus dilingkungan aktivis semasa sekolah. Sami di mata teman-teman seusianya adalah anak yang “gila” kompetisi. Sulit untuk menghitung perlombaan yang telah diikuti, hanyalah tumpukan piagam serta piala berbahan kaleng di sudut kamarnya, menjadi saksi atas banyaknya prestasi Sami. Itulah yang melekat padanya. Didalam rekaman memori, angin masih terasa sepoi-sepoi, sejuk menerpanya.
Tibalah Sami kini, di suatu pagi di akhir bulan oktober, setelah 3 bulan bekerja, angin sepoi-sepoi itu berubah, tak lagi sejuk menerpanya. Sami di cela, dia di ancam dengan pemotongan hak, dipaksa melawan masa lalu dan pendiriannya.
Sami masih tertunduk di depan meja yang berantakan, keringat di kepalanya mengalir, mulutnya sulit untuk menelan ludahnya sendiri, tenggorokannya sakit, kelopak matanya mulai basah. “sialan! saya memilih tamparan yang berbunyi keras, dari pada caci-maki yang lembut dibisiki” batinnya meronta.
Menit-menit setelahnya Sami menemukan dua simpang jalan dalam kepalanya. Pertama, apakah karena gaji, dia harus patuh dan tetap duduk di kursi itu atau kedua, berdiri pulang, membawa harga diri yang utuh. Buka hal yang mudah, ini soal nasib, konsekuensi dari keputusannya tetap saja akan menyulitkan. Tidak hanya bagi Sami, harga diri sebagai pilihan kedua akan ditukar dengan nasib si Inar istrinya yang sedang hamil muda dan si Atma anaknya yang tahun besok akan masuk kuliah.
Sebelum Sami ingin bicara kepada pimpinannya, orang yang baru saja memaki itu menerima panggilan telepon. Samar-samar terdengar di ujung telepon itu ada seorang laki-laki lain berucap dengan serius, menyampaikan peluang baru untuk proyek yang lain. Wajahnya pimpinannya sumringah.
“wahhh.. siap pak! ...Beres pak! ....Seperti biasa, Saya mengikut saja.”
Seperti ada yang tidak beres. Kalimat terakhir dari pimpinan itu membuat hening pembicaraan mereka, sesaat laki-laki di ujung telepon itu diam, membuat pimpinannya bingung tak mengerti.
Si penelpon melanjutkan dengan bertanya.
“oke, lalu bagaimana soal yang kemarin?”
Dengan terbata-bata dijawab oleh si pimpinan.
“anu pak,.. target substansi belum terpenuhi, akan sulit mencapai outcome yang direncanakan, Karena dibatasi anggarannya, tim kami belum bisa ke daerah-daerah, Tim tidak punya data untuk di olah.”