Setelah PP Nomor 25 Tahun 2020 diresmikan, BP Tapera diharapkan bisa segera beroperasi dan direalisasikan.Â
Namun, langkah ini pun masih menimbulkan polemik di tengah masyarakat sebagai pekerja, pemberi usaha, maupun pengembang perumahan.
Pemerintah beralasan iuran tersebut untuk memenuhi hak atas tempat tinggal, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bagi para pekerja, pengambilan iuran dari penghasilan tersebut menimbulkan beban karena pekerja sudah mengalami banyak potongan.
Sedangkan bagi para pengusaha, potongan 0.5% yang ditanggung para pengusaha akan menjadi iuran yang memberatkan bagi pengusaha di tengah resesi dan pertumbahan ekonomi yang melambat akibat pandemi.
Selain polemik tesebut masih ada hal yang pro dan kontra lagi, seperti:
1. Tidak jelasnya tertulis kriteria Manajer Investasi yang akan melakukan pengembangan dan pemupukan dana Tapera yang terkumpul. Akibatnya, sanksi yang diberikan kepada Manajer Investasi jika lalai dalam mengembangkan dana tapera.Â
Jika terjadi kerugian dalam investasi akan menjadi beban negara atau beban dari Manajer Investasi atau beban dari BP Tapera selaku pengumpul dana atau bahkan masyarakat sebagai peserta Tapera akan ikut merasakan beban gagalnya investasi.
2. Peserta Tapera tidak diikutsertakan dalam menentukan pilihan jenis reksadana apa yang akan dilakukan untuk diinvestasikan oleh Manajer investasi.
3. Masih rancunya manfaat akan diterima oleh peserta Tapera, misalnya: tidak ada jaminan dari pemerintah apakah peserta Tapera bisa langsung mendapatkan rumah.
Lalu uang iuran yang dikumpulkan itu pemanfaatannya apakah jadi DP rumah atau menjadi keringanan pembayaran cicilan kredit.
Terakhir, jikalau peserta Tapera sudah mendapatkan rumah di tengah jalan keikutsertaannya sebagai peserta apakah masih bisa mendapatkan manfaat dari hasil pemupukan investasi yang dilakukan oleh Manajer Investasi.