Gumbreg adalah salah satu nama dari 30 wuku dalam ilmu perbintangan Jawa, dalam satu wuku terdapat 7 hari atau satu minggu. Setiap malam Jumat Pahing wuku Gumbreg, biasanya masyarakat di Kecamatan Pringkuku melaksanakan tradisi Gumbregan.Â
Acara tersebut dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas karunia berupa hasil peternakan (sapi, kerbau, ayam dan kambing) dan doa agar hewan ternak tersebut cepat berkembang biak, dipenuhi keberkahan, dan dijauhkan dari segala malapetaka.Â
Selain itu, ketika tradisi ini berlangsung masyarakat juga melakukan sebuah ritual yaitu mengasah alat-alat pertanian seperti cangkul, thothol, dan sabit dengan tujuan agar diberikan keberkahan dalam mengelola hasil pertanian dan peternakan.
Ada yang unik dalam tradisi Gumbregan ini yaitu adanya tradisi membuat ketupat atau dalam bahasa Jawa disebut kupat. Ketupat adalah sebuah hidangan berbahan dasar beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda atau janur.Â
Menurut cerita, tradisi pembuatan ketupat ini berawal dari digunakannya ketupat oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ada beberapa jenis ketupat yang dibuat dalam tradisi Gumbregan ini antara lain ada ketupat sintho, ketupat lanang, ketupat kodok, ketupat kepel, ketupat keris dan ketupat tompo. Â Masing-masing ketupat memiliki bentuk yang berbeda-beda.Â
Dari keenam ketupat tersebut, hanya ketupat sintho yang akan dimasak sedangkan sisanya digantungkan di kandang sapi. Selain ketupat sintho, ada beberapa hidangan tambahan yang akan dimasak juga yaitu nasi gurih dan cengkaruk (beras ketan yang digoreng).
Selain itu, dalam tradisi ini, terdapat juga sejenis ritual yang tidak boleh dilupakan, yaitu pemilik rumah biasanya mengusap kepala hewan ternaknya dengan minyak kelapa dan menyebar cengkaruk yang sudah dimasak di sekitar kandang hewan ternak.Â
Pemberian minyak kelapa, disebarnya cengkaruk, dan digantungkannya beberapa jenis ketupat di atas kandang hewan ternak inilah yang dijadikan simbol harapan supaya hewan-hewan ternak tersebut cepat berkembang (babar).Â
Tidak hanya itu, ada juga beberapa masyarakat yang menggunakan minyak kelapa untuk mengasah alat pertaniannya seperti sabit, cangkul, thothol dan lain sebagainya dengan harapan agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah juga.
Kemudian ketika malam hari tiba, tradisi Gumbregan akan dilanjutkan dengan mengadakan semacam acara kondangan atau tasyakuran di rumah sesepuh dusun dengan membawa lima biji ketupat dan satu piring nasi gurih.Â