Ceriwismu selaksa aransemen terindah yang menyapa timpaniku
Tatapan netramu menghujam tepat di pupil coklatku
Lukisan di parasmu menghadirkan pemandangan paling memanjakan seumur hidupku
Bayang-bayangmu yang tegap, seolah melingkar hangat
Berhasil menggetarkan sudut jantungku untuk bergerak raba-rubu
Namun, sekian silam sudah kalaku siuman
Bahwa daku salah membawamu bertamu dalam gubukku yang tenang
Keliru menanam benih suciku dalam rumahmu
Membawamu dalam anganku, padahal anganmu bukan perihal aku
Nyatanya sangkaanku sendiri yang telah membunuhku perlahan tanpa permisi
Waktu ini, netraku hanya mampu menatap kehampaan paling sembilu
Tentang perleraian yang terpaksa menjadi tanda seru paling getir
Tak ada yang tersisa selain nostalgia yang menyayat relung kalbu
Terperosok dalam ruang bumi paling kelam
Aku telah kehilangan arah pulang menuju rumah yang kuidam-idamkan
Sekian waktu, meski ambang dadaku masih trenyuh
Sekian waktu dewasa, walau kulebur
Menyisihkan waktu untuk mengulang bayangan adalah kesalahan paling adiluhung
Lantas menyobek dan mengikhlaskan adalah nyiru
Perlahan, segala pasti akan sebaik semestinya
Sepoteng kisah ini memberiku sejumput anutan
Takdir terbaik adalah milik-Nya, bukan milikku
Yang terlewat sempurna adalah kuasa-Nya
Pantasnya tak perlu jatuh setajam ini
Apalagi kabur sejauh ini
Karena, tatkala waktu telah memberi lorong
Setiap jiwa akan menjumpai belahan jiwanya
Menjadikan kita permaisuri paling beruntung di semesta ini
Tanpa harus tenggelam dalam pedihnya pedang yang mengiris naluri
Tanpa perlu menghadirkan luka nan kecewa yang beranak pinak tanpa terkecuali
- Wahyu Fajar Lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H