RASISME DI INDONESIA
Rasisme akhirnya menjadi bagian dari strategi para penjajah. Dalam kasus sebutan monyet, lanjut Robert, seseorang yang dituju dengan panggilan itu akan dijatuhkan dalam struktur hierarki sosial. Bukan sekedar disegregasikan, orang itu akan langsung diletakkan di posisi bawah dalam piramida struktur sosial masyarakat. Dengan cara itu, kata Robert seseorang sebenarnya sudah ditaklukkan. Secara umum, dalam sejarah Indonesia, sebutan bangsa kuli juga dilekatkan penjajah kepada masyarakat ketika itu. Perendahan semacam itu menjadi strategi mempermudah penguasaan ekonomi dan politik oleh penjajah. Yang harus diingat, lanjut Robert, adalah bahwa rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Hitler, sejumlah peristiwa pembantaian di Eropa Timur, begitu juga kematian masyarakat asli Amerika dan Australia. Ungkapan rasis, kemudian ditujukan untuk menciptakan segregasi dalam masyarakat. Jika dibiarkan, maka sama saja masyarakat menyetujui segregasi sosial berbasis dominasi yang bagaimanapun, menurut Robert sulit untuk dibenarkan.
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin al Rahab mengakui, naiknya sikap rasis adalah gejala global dan bukan hanya ada di Indonesia. Pengelompokan masyarakat berdasar ras, digunakan untuk menekan kelompok masyarakat lain. Meluasnya pemakaian media sosial, dinilai Amiruddin turut menambah potensi sikap rasis di masyarakat. “Tentu hal ini perlu kita lihat secara lebih baik, supaya kita tidak terjerembab ke dalam problem konflik berbau rasial. Meskipun kita di masa lalu, pernah hal itu terjadi, dan itu menimbulkan problem kemnusiaan yang luar biasa di Indonesia,” kata Amiruddin. Amiruddin menilai, ada banyak pihak percaya bahwa rasisme adalah sesuatu yang alamiah, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Saat ini, persoalan ras bisa saja merupakan bagian dari upaya untuk menggiring masyarakat ke satu sikap politik tertentu. Kondisi itu pula yang membuat belakangan ini mudah menemukan pengguna media sosial di Indonesia, yang meluapkan emosi dan pernyataan bernada rasis. Amiruddin menegaskan, tindak rasisme jelas dilarang oleh undang-undang. Indonesia telah memiliki instrumen hukum untuk itu, yaitu UU Nomor 40 tahun 2008, tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Sayangnya, kata Amiruddin, UU ini tidak cukup dikenal dan jarang dijadikan rujukan oleh penegak hukum dalam mengusut tindak rasisme. Padahal, pemakaian UU ini penting jika Indonesia ingin menekan tindak kebencian berdasar ras. “Bisa saja tindakan rasialis itu membahayakan nyawa orang lain. Oleh karena itu, kita perlu sadar betul bahwa kita mesti menolak secara bersama-sama, perilaku rasialistis dan mendorong adanya proses penegakan hukum terhadap orang yang berbuat seperti itu,” kata Amiruddin sambil merekomendasikan UU 40/2008 sebagai rujukan utama.
Mulai dari hinaan dan stereotipe terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan, banyak orang di seluruh dunia didiskriminasi hanya karena warna kulitnya. Merebaknya protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terkini Stop Asian Hate adalah akumulasi kemarahan terhadap diskriminasi rasial yang melanggar hak orang sejak berabad-abad lalu, yang menyebabkan berbagai kesenjangan yang merugikan sampai sekarang. Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dibasmi tuntas.
Apa itu rasisme?
Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Gagasan ini juga meyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain.
Apa saja dimensi rasisme?
Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting, organisasi yang merekomendasikan kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebut bahwa rasisme punya empat dimensi: internal, interpersonal, institusional dan sistemik.
Rasisme internal mengacu pada pikiran, perasaan dan tindakan kita sendiri, sadar dan tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai stereotip ras yang negatif, atau bahkan menyangkal adanya rasisme.
Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari seseorang ke orang lain, yang bisa mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya perilaku negatif seperti pelecehan, diskriminasi, dan kata-kata rasis.
Rasisme institusional ada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang secara langsung atau tidak langsung melanggengkan diskriminasi atas dasar ras. Ini menyebabkan ketidaksetaraan kekayaan, pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan bidang lainnya. Misalnya, praktik perekrutan diskriminatif, membungkam suara orang dengan ras tertentu di ruang rapat, atau budaya kerja yang mengutamakan sudut pandang kelompok ras dominan.