Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro SN
Wahyu Kuncoro SN Mohon Tunggu... Editor - Kolumnis - Editor - Dosen

Urip prasojo ora neko neko

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menyelamatkan Kedaulatan Nasional di Pusaran Konflik Laut Cina Selatan

23 Mei 2024   15:21 Diperbarui: 23 Mei 2024   18:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pusaran konflik perebutan wilayah di kawasan Laut China Selatan (LCS) akibat klaim yang saling tumpang tindih masih menjadi isu keamanan utama di kawasan ASEAN sampai hari ini. Terdapat sepuluh negara yang berbatasan dengan LCS yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.   

Sengketa LCS pertama kali terjadi pada dasawarsa 1970-an dan masih belum menemui titik akhir hingga saat ini. Sejumlah negara yang terlibat dalam sengketa LCS, sebagai claimant states, yaitu Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan, yang mengklaim sebagai bagian dari kedaulatan negaranya masing-masing.

Tiongkok menggunakan dasar historis, sedangkan claimant states lainnya menggunakan dasar geografis yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS). LCS menjadi kawasan yang diperebutkan karena memiliki nilai strategis sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga membuat jalur LCS sebagai jalur tersibuk di dunia.

Separuh lalu lintas perdagangan dunia tercatat melalui kawasan tersebut. Selain itu, LCS juga memiliki nilai ekonomis dengan adanya sumber daya alam berupa cadangan minyak dan gas alam.

Nilai strategis tersebut membuat setiap claimant states berupaya untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka masing-masing dengan melakukan berbagai manuver, mulai dari peluncuran peta nine dash line oleh Tiongkok, pengajuan gugatan Filipina terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB, hingga tindakan asertif seperti pembangunan pulau- pulau buatan dan kehadiran militer Tiongkok di LCS.

Kompleksitas isu LCS bahkan telah membuat great power seperti Amerika Serikat (AS) turut "hadir" melalui kekuatan militernya dengan meningkatkan frekuensi aktivitas Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk menentang ekspansi Tiongkok di kawasan tersebut.

Kedaulatan Nasional Terancam

Dalam perkembangannya, konflik LCS juga mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan perairan Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Tiongkok beralasan pihaknya berhak atas perairan di Kepulauan Natuna atas dasar argumen traditional fishing zone. Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna masih terus berlanjut hingga membawa Indonesia dan Tiongkok pada situasi "bersitegang". Tercatat sejumlah kapal-kapal nelayan Tiongkok berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Insiden tersebut terus terjadi sejak tahun 2016 dan kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020, dimana kali ini tidak hanya kapal-kapal nelayan yang terlibat, tetapi coast guard Tiongkok juga melakukan pelanggaran serupa.

Berbagai insiden pelanggaran di atas terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara Tiongkok dan Indonesia. Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa kapal-kapal nelayannya berhak untuk berlayar dan coast guardnya berhak berpatroli di area nine dash line.

Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak mengakui nine dash line dan menganggap bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran di wilayah ZEE Indonesia, yaitu di perairan Laut Natuna Utara.

Dalam konteks hubungan internasional, setiap negara mempunyai tujuan untuk mencapai, memperjuangkan, merealisasikan, dan mempertahankan kepentingan nasionalnya.

Kepentingan nasional terbentuk berdasarkan asumsi bersama suatu bangsa terhadap kondisi tertentu yang menjadi perhatian mendasar bagi negaranya seperti keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan.

Menurut Nuechterlein dalam "National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for Analysis and Decision-Making." (2012) menjelaskan kepentingan nasional suatu negara dibagi menjadi empat kategori yaitu :

Pertama, kepentingan pertahanan (defence interest) yaitu kepentingan nasional yang berkaitan dengan kewajiban negara untuk melindungi warga negara, wilayah, dan sistem politiknya dari ancaman negara lain.

Kedua, kepentingan ekonomi (economic interest) yaitu kepentingan nasional yang berkaitan dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dengan menjalin hubungan dengan negara lain. Ketiga, kepentingan tatanan dunia (world order interest) adalah kepentingan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan dan mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional agar tercipta rasa aman bagi setiap negara dalam melakukan interaksi dalam sistem internasional.

Keempat, kepentingan ideologi (ideological interest) adalah kepentingan nasional untuk mempertahankan dan melindungi ideologi negara, serta mendorong nilai- nilai yang dipercaya dan diyakini oleh masyarakat guna mencapai kebaikan yang universal.

 

Memperjuangkan Kepentingan Nasional

      Berbagai kebijakan yang dibuat oleh claimant states terhadap sengketa LCS tidak terlepas dari upaya memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Lantas muncul pertanyaan, apa kepentingan Indonesia terkait sengketa LCS?

  Dalam melihat kepentingan nasional Indonesia terkait konflik di LCS, maka dapat dirunut dari dua hal yang saling berkaitan, yakni dinamika yang terjadi dalam sengketa LCS dan persinggungan di Laut Natuna Utara.

Walaupun Indonesia tidak termasuk ke dalam claimant states, namun nine dash line yang diklaim oleh Tiongkok telah bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara.

Kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara antara lain kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, dan kepentingan tatanan dunia.

Bahwa terkait dengan kepentingan pertahanan dalam rangka mempertahankan kedaulatan wilayah, dapat dikatakan bahwa sengketa  LCS  ini  merupakan  "ujian" bagi Indonesia dalam mempertahankan teritorialnya di Laut Natuna Utara.

Indonesia mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya dengan merujuk pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dasar hukum tersebut kemudian secara tegas memberikan Indonesia hak berdaulat untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Hal ini kemudian berkaitan juga dengan kepentingan ekonomi Indonesia. Merujuk pada Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016, Laut Natuna kaya akan sumber daya laut seperti berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Selain itu, potensi sumber daya alam lainnya yang terkandung di wilayah tersebut adalah kandungan minyak dan gas alam.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Blok East Natuna memiliki kandungan potensi minyak mencapai 36 juta barel minyak dan volume gas alam di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan gas alam sebesar 46 tcf. Berdasarkan potensi tersebut, Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya di Laut Natuna Utara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi Indonesia.

Selanjutnya, Indonesia juga memiliki kepentingan tatanan dunia untuk menjaga stabilitas Kawasan utamanya di LCS. Klaim tumpang tindih di perairan LCS ini sungguh kerap menimbulkan ketegangan dan berpotensi menyebabkan instabilitas keamanan di kawasan.

Hal ini ditandai dengan persaingan antara AS dan Tiongkok dimana kedua negara berlomba- lomba menunjukkan kekuatan militernya di kawasan LCS dengan mengerahkan kapal induk dan kapal perangnya masing-masing.

Sebagai respons atas tindakan asertif dan ekspansi Tiongkok di LCS, eskalasi kemudian menjalar ke Taiwan. Taiwan meningkatkan kehadiran personel militernya dengan menyiagakan angkatan udara dan persenjataannya di pulau utama yang diduduki Taiwan di LCS. Tidak hanya Taiwan, dalam perkembangannya, beberapa sekutu AS seperti Inggris dan Perancis juga ikut mengirimkan kapalnya ke wilayah LCS dengan dalih menjalankan operasi untuk menjalankan kebebasan navigasi. Selain itu, Jerman juga berencana untuk bergabung dalam misi tersebut dengan mengerahkan armada tempur maritimnya pada Agustus mendatang.

Dengan adanya manuver-manuver tersebut, Vietnam dan Filipina yang merupakan claimant states juga ikut berupaya untuk meningkatkan kekuatan militernya mengingat keamanan di wilayah LCS yang semakin tidak stabil. Vietnam membuat bunker dan landasan pacu untuk memperkuat pertahanan udaranya. Sedangkan Filipina menyatakan akan meningkatkan kehadiran angkatan lautnya di LCS untuk memberikan perlindungan kepada para nelayan asal Filipina.

Urgensi Menjaga Stabilitas Kawasan

Persaingan kekuatan militer dari berbagai negara tersebut pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas keamanan di kawasan dan telah menimbulkan kekhawatiran baru bagi jalur pelayaran dan perdagangan internasional.

Stabilitas kawasan menjadi penting karena kawasan LCS mempunyai nilai ekonomis, politis, dan strategis sebagai Sea Lanes of Trade (SLOT) dan Sea Lanes of Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Jika dielaborasi lebih jauh, SLOC merupakan rute maritim antar pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk kegiatan pelayaran internasional yang meliputi perdagangan, pengiriman logistik, dan angkatan laut.

Sebagai jalur pelayaran internasional, kawasan LCS merupakan rute utama bagi sepertiga perdagangan maritim dunia. Selain itu, jalur ini juga memfasilitasi volume lalu lintas transportasi pengiriman perdagangan maritim seperti minyak mentah dengan volume pelayaran mencapai 1.000 unit kapal per hari.

Dengan melihat dinamika pengerahan kekuatan militer dan nilai strategis dari kawasan LCS, membuat Indonesia sebagai bagian dari ASEAN juga memiliki kewajiban untuk turut menjaga stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Selain itu, sebagai negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan LCS, Indonesia berpotensi merasakan dampak secara langsung apabila terjadi eskalasi konflik di wilayah LCS.

Merujuk pada fakta-fakta tersebut, maka menjaga stabilitas keamanan di kawasan baik dari persaingan kekuatan major power dan keamanan pelayaran internasional menjadi agenda penting Indonesia utamanya  berkaitan dengan kepentingan untuk menjaga  tatanan dunia (world order interest) yang lebih baik.

#KedaulatanIndonesia, #JagaNatuna, #LombaISDS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun