Korban akibat terpapar Covid-19 Â terus berjatuhan. Hampir tiap hari pengumuman lewat pengeras masjid perihal anggota masyarakat yang meninggal akibat Covid-19 terus terdengar. Jumlah warga yang terpapar Covid-19 juga terus bertambah. Bahkan, akibat keterbatasan fasilitas kesehatan dalam melayani pasien Covid-19, beberapa orang memilih untuk melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah.
Di tengah situasi yang sulit tersebut, nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas tumbuh bersemi. Kesadaran saling berbagi, meringankan beban anggota masyarakat yang terpapar Covid-19 merebak dimana-mana. Tanpa ada yang memberi komando, ketika ada tetangga yang menjalani isoman, warga sekitarnya dengan secara bergotong royong memberikan bantuan.
Ada yang memberikan bantuan disinfiktan, memberikan vitamin, bahan bokok, atau mengirim nasi bungkus untuk yang sedang menjalani isoman. Bahkan ada relawan yang secara sukarela menyediakan waktu dan tenaga untuk melayani kebutuhan warga isoman, baik untuk membelikan obat maupun untuk keperluan lainnya.
Kesadaran untuk menolong dan berbagi yang tidak memandang apa agama, suku, pandangan politik warga yang menjalani isoman tersebut tentu harus dirawat. Sebuah potret kebersamaan yang penulis yakini akan menjadi modal berharga bagi bangsa ini dalam menghadapi himpitan beban di masa pandemi Covid-19 ini.
Memetik Pesan
Realitas di atas menunjukkan kepada kita betapa Covid-19 akan menjadi ancaman serius bagi siapa saja tidak pandang, usia, latar belakang ekonomi, status sosial, agama hingga pandangan politik seseorang.
Lantaran itu, membangun kesadaran bahwa Covid-19 adalah menjadi ancaman bersama menjadi penting. Membangun kesadaran ini menjadi semakin menemukan relevansinya, mengingat acapkali muncul prasangka-prasangaka bahwa kebijakan terkait Covid-19 seolah olah didesain untuk memojokkan atau mendiskreditkan kelompok atau agama tertentu.
Kita masih ingat betul ketika muncul kebijakan untuk untuk mengurangi aktivitas di rumah ibadah sebagai upaya untuk mencegah munculnya kerumuman, kemudian yang sempat muncul di media sosial seolah kebijakan tersebut seolah ingin menghalagi syiar agama tertentu.Â
Demikian juga ketika pemerintah melarang umat Islam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha seolah-oleh ini sebagai upaya untuk membatasi ruang gerak umat Islam. Sungguh kita tidak berharap lagi ada pemikiran-pemikiran yang memandang terkait kebijakan Covid-19 dengan penuh prasangka.
Merdeka dari Covid-19
Dalam momentum memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang ke 76 tahun ini, kita berharap sprit para pendiri bangsa dalam berjuang meraih kemerdekaan menjadi inspirasi bagi kita semua.Â
Sungguh butuh kebersamaan untuk memerdekaan banga ini dari Covid-19. Bangsa ini  harus menyadari Covid-19 adalah ancaman bersama yang hanya bisa diatasi kalau secara bersama-sama melawannya.Â
Tidak mungkin hanya satu kelompok,  satu suku, atau  kelompok tertentu apalagi hanya berharap pemerintah yang menghadapinya, tetapi harus secara kolektif melawannya.
Ingatlah, kemerdekaan RI ini juga bukan merupakan hasil perjuangan satu dua kelompok saja, namun merupakan hasil perjuangan seluruh bangsa Indoensia tanpa memandang status sosial, ekonomi, pandangan politik maupun agama. Semua menyadari Kemerdekaan adalah kebutuhan bersama yang harus juga diperjuangakan secara bersama.
Demikian juga dengan Covid-19, adalah ancaman bersama yang juga harus secara bersama-sama melawannya. Percayalah, hanya dengan kebersamaan, saling bahu- membahu maka akan membuat ancaman dan beratnya dampak akibat Cobd-19 ini bisa dihadapi bersama. Inilah makna kebhinekaan yang bisa kita hidupkan kembali di masa pandemi kali ini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H