Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rudal Scud, Rudal Gaib, dan Kita

30 Mei 2021   20:43 Diperbarui: 30 Mei 2021   21:06 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada sebuah lelucon dari kampung saya ketika terjadi Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991. Perang melawan Irak yang menginvasi Kuwait tersebut menjadi ajang perjudian oleh sebagian masyarakat yang gemar berjudi. Para penjudi akan bertaruh apakah Rudal Scud milik Irak akan ditembakkan ke Israel hari itu.

Perang tentu menjadi momentum yang menegangkan bagi pihak-pihak yang berperang. Demikian juga bagi sebagian masyarakat penjudi di daerah saya. Mereka rajin membaca koran di rumah tetangga atau mencermati berita di radio agar memiliki dasar pengetahuan untuk bertaruh.

Saat rudal belum jadi ditembakkan, taruhan dimulai lagi esok harinya. Perasaan tegang terakumulasi menjelang acara  Dunia dalam Berita di televisi ketika kepastian penembakan rudal diberitakan. Dalam drama, senjata yang muncul di babak pertama, baru ditembakkan di babak ke tiga.

Mereka terus menunggu kabar penembakan Rudal Scud jadi dilakulan atau tidak. Jika belum dilakukan, mereka akan menganalisa terus berdasarkan berita hari itu. Perputaran uang judi terus berlangsung bahkan setelah Rudal Scud ditembakkan pertama kali pada tanggal18 Januari 1991.Taruhan segera berlanjut apakah Israel akan membalas serangan Irak.

Perang Teluk melibatkan banyak negara. Irak yang sendirian melawan 23 negara yang dipimpin Amerika Serikat. Di luar itu, masyarakat dunia juga saling memberi dukungan baik untuk Kuwait maupun untuk Irak.

Kondisi ini tepat menggambarkan kata-kata Thomas Hobbes, "Bellum omnium contra omnes" (Perang semua melawan semua). Yang 'berperang' tidak hanya tentara-tentara dari dua kubu, melainkan masyarakat luas dunia.

Di kampung saya, mula-mula peristiwa Perang Teluk hanya menjadi perbincangan sosial di pos ronda, jagong bayi, kondangan, atau kumpulan RT. Selanjutnya, perbincangan berubah menjadi perseteruan sosial. Dalam satu RT, anggota-anggotanya terpecah, membagikan diri secara sadar sesuai pilihannya. Tak jarang, banyak yang ikut-ikutan.

Seorang seniman lokal di kampung saya berkomentar tentang Perang Teluk, "Amerika Serikat itu ibaratnya Patih Sengkuni yang suka adu domba." Saya mengerti arah keberpihakannya kepada Irak. Para pendukungnya akan khusyuk mendengar general lecturer-nya. Seorang lainnya yang membela Amerika Serikat dan sekutunya berujar, "Asmuni (asal muni-bicara)!"

Masing-masing pihak mengeluarkan pendapatnya. Ujung-ujungnya, mereka beranggapan bahwa ini merupakan perang agama. Lalu, Amerika Serikat dianggap sebagai biang kerok. Hanya para penjudi saja yang tidak memikirkan muatan politik agama dalam perang tersebut.

Hal seperti itu berlanjut saat ini. Pada perang Israel - Palestina akhir-akhir ini, polarisasi dukungan muncul lagi. Dukungan terhadap Palestina muncul dari berbagai kelompok. Salah satu organisasi massa besar bahkan menggalang dana untuk membantu Palestina. Perang komentar warganet gaduh lagi dan lagi.

Perseturuan semakin intens saat ini. Di era medsos, mengutarakan isi hati atau pilihan pribadi tak perlu menunggu momen ronda, jagong bayi, atau kondangan. Dalam hal seseorang tak bisa atau mau berargumen, dengan memberi 'jempol' seseorang sudah bisa menunjukkan sikapnya.

Saat postingan atau komentar lawan dirasa menyenggol harkat dan martabat seseorang atau kelompok yang dibela, warganet segera menunjukkan dukungannya. Reaksi akan berlangsung cepat untuk saling berkomentar. Saling memaki tentu bukan hal yang asing. Bahkan, mereka akan saling membuli.

Perang selalu membawa korban. Gempuran selama 11 hari yang dilakukan oleh Israel, merenggut korban jiwa sangat banyak. Ada sedikitnya 248 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak meninggal. Ini adalah peristiwa kemanusiaan bagi dunia. Bukan sebuah tragedi bagi kaum tertentu.

Tapi, apakah rasa kemanusiaan itu pula yang mendorong warganet kita berseteru? Atau, jangan-jangan hanya karena permasalahan ini dianggap sebagai bagian dari golongan tetentu yang sedang diganggu golongan tertentu lainnya?

Kembali pada cerita taruhan Rudal Scud. Kita bisa melihat sisi lain dari masyarakat yang turut serta dalam peristiwa "perang". Apakah ini guyonan? Mungkin. Saat ini pun, kita juga bisa melacak jenis guyonan dalam bentuk lain. Tentu, yang paling menarik adalah dukungan para dukun. Koalisi 30 dukun yang katanya datang dari berbagai penjuru Indonesia tersebut "menembakkan" rudal gaib ke Israel.

Apakah ini serius? Pengalaman taruhan Rudal Scud menjadi sebuah penanda yang satir sebenarnya. Para penjudi bertaruh demi uang, padahal penderitaan sedang terjadi di tempat rudal dijatuhkan. Taruhan tak lain hanya aktivitas bersenang-senang, mungkin untuk tujuan ekonomis.

Demikian pula apa yang dilakukan para dukun yang menembakkan rudal gaib. Konon kabarnya, ini hanya sebagai video konten untuk dipajang di Youtube. Barangkali ada motovasi ekonomis atau lainnya agar sensasional. Tak ada yang sungguh-sungguh untuk bersimpati menunjukkan solidaritas kemanusiaan.

Hari-hari ini, di medsos, kita bisa semakin bebas bersuara. Tetapi, kita semakin susah memahami penderitaan orang lain dalam kacamata yang lebih pantas: kemanusiaan. Dan, kita memindahkannya dalam kotak yang lebih kecil: politik identitas.

Senjata di babak pertama akan ditembakkan pada babak ketiga. Warganet selalu tak sabar dan berperang terlebih dulu atas nama agama. Perilaku dukung-mendukung kita sebatas menunjukkan bahwa kita adalah warganet yang pandai bertengkar, yang semakin jauh dari keberpihakan kepada kemanusiaan.

Kita menjadi tidak serius berempati seperti penjudi yang bertaruh soal Rudal Scud dan koalisi dukun yang mengirim Rudal Gaib. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun