Sekolah ramah anak tidak semata-mata sekolah yang menjamin tiadanya perundunungan. Lebih dari itu, sekolah tersebut memberi jaminan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak selama berada di sekolah.Â
Salah satu prinsip pengembangan SRA adalah kepentingan terbaik bagi anak. Maka, cara pandang dalam semua aktivitas di sekolah harus berorientasi kepada anak. Terbentuknya pendidik yang berperspektif anak dalam proses pembelajaran dan pengambilan kebijakan di sekolah menjadi penting.Â
Secara natural, hal ini sebenarnya memang menjadi prinsip institusi penyelenggara pendidikan. Tanpa sekolah harus bermetamorfosa mengikuti program SRA, apalagi karena ada daerah yang mengajukan menjadi Kota/Kabupaten Layak Anak dan SRA menjadi salah satu indikatornya, setiap sekolah semestinya menjadi SRA.Â
Pilihan untuk memberi yang terbaik untuk anak bukan perkara mudah. Di sekolah, tak jarang sebuah keputusan diambil berdasarkan prerogatif pengambil kebijakan, yaitu kepala sekolah yang kemudian disetujui oleh guru-guru. Penggunaan dana BOS, misalnya, dibelanjakan berdasar pertimbangan performa sekolah, Â selain efisiensi. Sekolah lebih cemas tidak memiliki taman yang cantik dengan berbagai tanaman daripada memiliki perpustakaan dengan buku-buku cerita yang menarik. Buku-buku cerita dianggap kurang penting karena tidak mengandung pengetahuan sebagaimana diatur dalam kurikulum.Â
Dengan kebijakan seperti ini, sebenarnya ada hak-hak anak yang terabaikan. Rasa nyaman anak-anak salah satunya terjadi karena mereka bisa mengakses bagian terpenting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu perpustakaan yang nyaman. Dengan demikian, kemudahan mengakses buku-buku, termasuk buku-buku cerita terjadi.Â
Lalu, apa kaitannya dengan SRA? Selama pandemi ini, ketidaksiapan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) mereduksi kegiatan belajar mengajar menjadi pemberian materi dan penugasan. Penelantaran kepada anak-anak sangat riskan terjadi. Anak-anak anak yang tidak terjangkau dari istruksi guru untuk mempelajari materi atau mengerjakan tugas yang dishare lewat wa atau berbagai aplikasi daring, sangat mungkin tidak akan belajar. Kesempatan belajar yang menjadi hak anak hilang (learning loss).Â
Sekolah yang ramah akan bersikap bijak dan mencari anak-anak yang hilang tersebut lalu melakukan upaya alternatif untuk memastikan mereka belajar. Yang menjadi pertanyaan, adakah semua guru melakukan itu? Lalu, bagaimana peran sekolah, termasuk sekolah-sekolah yang percaya diri memajang plang "Sekolah Ramah Anak"?Â
Plang "Sekolah Ramah Anak" rupanya tidak perlu lagi. Pada hakikatnya, semua sekolah harus ramah kepada anak. Pembentukan Satgas atau Tim Sekolah Ramah Anak juga hanya akan berbuah pada formalitas saja. Sekolah perlu untuk menggeser hal-hal yang berorientasi pada performa sekolah yang diukur dari hasil lomba, laporan kedinasan yang administratif, dan berbagai macam akreditasi. Filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah itu 'taman', tidak lain bahwa segala upaya harus mengarusutamakan kepentingan terbaik untuk anak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H