Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengantisipasi Learning Poverty

16 April 2021   11:48 Diperbarui: 16 April 2021   11:52 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun ajaran baru 2021/2022. Pembelajaran tatap muka niscaya akan diberlakukan dengan protokol tertentu. Rupanya, tidak mungkin untuk melakukan pembelajaran tatap muka seperti sebelum terjadi pandemi. Pembelajaran model hybrid antara luring dan daring akan menjadi pilihan. Kemendikbud juga telah dengan gencar mempersiapkan pendekatan pembelajaran berbasis TIK selama ini. Terbaru, melalui Pusdatin, Kemendikbud menggagas pembelajaran berbasis TIK (PembaTIK). 

Di sisi lain, mempertimbangkan suara dari masyarakat, pemerintah juga memberi wacana akan membuka sekolah. Banyak orang menginginkan agar sekolah dibuka dengan mengikuti protokol yang berlaku. Permintaan ini tak lain karena banyak orang tua sudah merasa jenuh mendampingi belajar anak-anak mereka di rumah. Faktor ekonomi dan kesibukan pekerjaan orang tua menjadi alasan kuat yang mendorong keinginan sekolah dibuka lagi. 

Bagaimanapun juga, keputusan pemerintah untuk menunda pembukaan sekolah harus disikapi dengan baik. Ketika bahaya penularan Covid-19 masih membayangi kita, pilihan ini menjadi sebuah tanggung jawab moral pemerintah melindungi anak-anak. Tentu saja, ini merupakan diskresi yang tidak mudah  bagi pemerintah saat harus memikirkan dampak psikologis anak-anak yang mengalami learning loss. 

***

Dua alternatif pembelajaran (daring dan luring) yang ditawarkan oleh pemerintah menjadi sarana agar anak-anak tidak mengalami kehilangan kesempatan belajar (learning loss). Namun, memperhitungkan learning loss saja belum mencukupi untuk menunjukkan keberpihakan pada aspek psikologis anak-anak. Learning loss merupakan kondisi kehilangan kesempatan belajar (sesuai cakupan belajar yang ditentukan dalam kurikulum). Bagi anak-anak sekolah dasar tingkat rendah (kelas 1-3), tantangan lain berupa learning poverty perlu diperhatikan juga. 

Menurut laporan Bank Dunia, learning poverty merupakan kondisi di mana anak-anak tidak bisa membaca dan memahami teks sederhana sampai pada rentang usia 10 tahun. Learning poverty atau kemiskinan belajar rentan terjadi di keluarga miskin yang mana peran orang tua dalam mendukung belajar anak masih minim. Tak bisa dipungkiri ini juga dialami keluarga dari kelas menengah ke atas. 

Di Bali, ada sebuah sekolah internasional yang mana kebanyakan orang tua merasa jenuh terus menerus mendampingi belajar di rumah. Para orang tua tidak mau rugi dan meminta sekolah dibuka karena mereka sudah membayar mahal. Hal ini memberi dampak bagaimana dukungan belajar semakin hari semakin berkurang. Sekaligus, ini menunjukkan bahwa kecakapan mengajar menjadi tantangan siapa saja tanpa melihat disparitas ekonomi, sosial, dan budaya. 

Ketidaksiapan, kejenuhan, dan kesulitan akses dalam mendampingi belajar membuat anak-anak tidak mendapat kesempatan belajar di rumah dengan optimal. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengakibatkan anak-anak kehilangan kesempatan belajar. Oleh karena itu, baik learning loss maupun learning poverty terjadi pada anak-anak. 

Melihat kembali pencapaian tingkat literasi pelajar di Indonesia berdasarkan penilaian PISA tahun 2019, skor kita berada di peringkat 72 dari 77 negara peserta. Dengan demikian, memperhatikan learning poverty dalam mendukung anak-anak belajar di rumah perlu mendapat tempat. Kemampuan membaca merupakan kemampuan dasar bagi anak-anak untuk mempelajari pengetahuan dan mencapai tingkat belajar selanjutnya. 

Kita telah memasuki tahun kedua pandemi. Tahun lalu, anak-anak kelas 1 hanya mencicipi bangku sekolah hingga bulan Maret 2019.
Tidak tahu berapa banyak anak-anak tersebut yang masih mengalami kesulitan membaca. Di banyak daerah, khususnya di pedesaan, anak-anak yang masuk sekolah dasar jarang bisa membaca. Ini memacu usaha guru-guru di kelas awal untuk memastikan mereka bisa membaca dengan lancar. 

Kondisi pandemi yang memaksa harus melakukan PJJ akan memangkas kesempatan anak-anak bisa membaca. Artinya, selain terjadi learning loss pada sebagian besar anak, learning poverty dipastikan terjadi juga. Menurut Bank Dunia, penutupan sekolah hingga bulan November 2020, mengakibatkan berkurangnya 21 poin pada skala membaca (literasi) program penilaian siswa internasional (PISA). 

Hingga hari ini, sekolah belum dibuka. Tantangan saat pandemi ini bukan saja bagi anak-anak tingkat bawah untuk bisa membaca (lancar), tapi juga bisa memahami bacaan. Rupanya, ini juga menjadi tantangan anak-anak di tingkat atas (kelas 4-6). Bank Dunia juga menyebutkan bahwa pada tahun 2019, diperkirakan sekitar 35 persen anak-anak sekolah dasar tidak bisa membaca hingga lulus sekolah. 

Kebijakan yang diambil pemerintah di masa pandemi ini masih berfokus pada usaha mengejar learning loss saja. Ini terlihat dari rujukan platform-platform yang digunakan untuk PJJ masih didominasi oleh platform-platform kegiatan yang berisi pembelajaran formal. Belum ada platform-platform yang disarankan untuk mendukung kegiatan membaca buku non teks. Jika ada, membaca hanya suplemen untuk membantu pahaman materi pelajaran. 

Secara umum, strategi untuk meningkatkan kualitas membaca bagi anak-anak juga belum nampak. Persepsi belajar masih berputar pada belajar dari buku-buku pelajaran sesuai kurikulum. Membaca belum dianggap sebagai sebuah aktivitas kognitif yang mendukung aktivitas anak belajar untuk hidup. 

Keberpihakan kepada permasalahan psikologis anak sepertinya perlu mencantumkan kegiatan membaca sebagai aktivitas yang bisa dilakukan selama PJJ. Dalam membaca ada unsur kesenangan (reading for enjoyment). Anak-anak tidak melulu belajar dan bermain. Membaca menjadi selingan aktivitas kognitif yang bermanfaat. 

Ketimpangan kemampuan membaca tentu berakibat pada ketimpangan pendidikan. Selama pandemi ini, memperkuat kebiasaan membaca rupanya menjadi penting. Tanpa adanya minat membaca yang baik, pengetahuan tidak mungkin dikuasai dengan baik. 

***

Anak-anak memiki waktu cukup banyak. Mengisi waktu yang bermanfaat bagi anak-anak salah satunya dengan cara menyarankan mereka untuk membaca buku non-teks pelajaran. Anak-anak perlu dikenalkan bahwa membaca itu menyenangkan. 

Pemerintah perlu membuat strategi ini untuk mengantisipasi terjadinya learning poverty.Tanpa adanya minat membaca yang baik, pengetahuan tidak mungkin dikuasai dengan baik. Lebih dari itu, ini menjadi kesempatan mengkampanyekan kebiasaan membaca yang nyaris tidak ada di dalam masyarakat kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun