Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Maradona dan Nasib Menjadi Legenda

29 Desember 2020   12:09 Diperbarui: 29 Desember 2020   15:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kado itu tampak biasa: sebuah bola. Diego mendapatkan hadiah itu pada ultahnya ke empat. Sejak itu, selama enam bulan, ia membawanya setiap kali tidur karena takut seseorang mengambilnya. Ia tidur dengan menyembunyikan bola pemberian sepupunya itu di dalam kaosnya. 

Tak pernah saya mendengar cerita kedekatan yang begitu mesra antara seorang anak dengan bola. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk sebuah percintaan dengan bola. Sepakbola adalah panggungnya. Di situ nasibnya. Mungkin ini yang terjadi dalam Diego bahwa ia adalah nasib itu: Amor fati, fatus est (Saya mencintai nasib, saya adalah nasib itu sendiri). 

Diego, nama panggilan dalam keluarganya, akhirnya menjadi sebuah legenda. Di usianya ke sepuluh, pemandu bakat sepak bola menemukannya. Lantas, ia masuk ke tim di kotanya dan menjadi maskot. Di situ karirnya bermula. Diego kecil menjadi pusat perhatian. 

Debut internationalnya sudah dimulai sejak usia 16 tahun. Ia mengantarkan Boca Junior menjadi juara Liga Argentina untuk pertama kalinya. Di FC Barcelona, ia mengantar timnya menjuarai Copa del Rey dan Piala Super Spanyol. Di Napoli, ia membawa timnya menjadi juara Seri A untuk pertama kalinya dalam sejarah. 

Tapi, dari semua itu, pecinta sepakbola tak akan lupa Piala Dunia '86 di Mexico. Dua gol saat melawan Inggris merupakan dua sisi mata uang: gol 'Tangan Tuhan' dan gol solo-run. Gol pertama merupakan kelicikan Diego yang mencetak gol dengan bantuan tangannya, yang ia klaim sebagai bantuan Tuhan. Gol kedua menunjukkan kepiawaiannya bermain bola dengan waktu 10 detik melewati 5 pemain Inggris dalam jarak 60 meter. 

Saya tertarik dengan dua gol itu. Tiap kali saya melihat ulang 2 gol tersebut (dan video-video lain tentang Diego), seolah-olah  Diego bisa 'mengendalikan' bola seperti yang ia inginkan. 

Posisi Diego sebelum mencetak gol dengan tangannya harus saya katakan dalam posisi 'kalah'. Penguasaan bola seharusnya ada pada Peter Shilton, penjaga gawang Inggris. Bagaimanapun, duel di udara akan lebih menguntungkan pihak yang lebih tinggi,  ditambah dengan keleluasaannya menggunakan tangan. 

Terlepas ia menggunakan tangannya, posisi Diego yang nyelonong mendekati gawang sambil berlari terbang memberi kesan sendiri bagi saya. Posisi itu sangat sulit. Tapi, ada pergerakan dinamis yang mengagetkan.

Ada kecepatan yang Diego gunakan. Lagi, ia juga  pintar melihat ruang, membaca  gerak arah bola, lalu menentukan dalam waktu seper sekian detik untuk bergerak mencari datangnya bola. Barangkali ini yang Howard Gardner sebut dengan kecerdasan visual dan spasial. 

Gol berikutnya harus saya sebut sebagai opus magnum. Melewati 5 pemain jangkung bukanlah hal enteng untuk sebuah pertandingan melawan Inggris. Ia melesat dengan bolanya hingga menjebol gawang. 

Howard Gardner juga memperkenalkan kecerdasan kinestetik. Yang dilakukan Diego di lapangan hijau menunjukkan ia unggul dalam kecerdasan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun