Di dunia Barat, setiap anak mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya. Hal ini tidak mungkin terjadi di lingkungan Jawa yang masih mewarisi sistem kasta. Justru di sini nampak, bahwa menjadi 'putri' bukanlah sesuatu yang dia impikan. Ia lebih mendambakan dunia egaliter yang menjadikan perempuan sama haknya di hadapan laki-laki.
Suara Kartini dalam surat-suratnya tidak datar. Bahkan, di saat tertentu, dia cukup lantang menyuarakan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem penjajahan di Hinddia-Belanda. Suara Kartini seperti guruh saat membela kemiskinan rakyatnya dan seperti badai saat berkomentar pada ketidakrasionalan sistem feodal yang mengelilinginya. Dia membaca Max Havelaar. Kutipan dari Max Havelaar yang dia sukai dan sangat mempengaruhi hidupnya "tugas manusia adalah menjadi manusia" memberi energi besar untuk membela kaumnya.
Suara Kartini, rupanya, merupakan suara yang ingin merekonstruksi kepatutan yang dimiliki seorang perempuan: tunduk oleh kekuasaan laki-laki dan mengurusi wilayah domestik. Suara lantangnya tak lazim bagi seorang perempuan yang begitu jujur melihat dunianya di penghujung dan awal abad 19 itu. Suaranya tetaplah menjadi suara dari kaum yang mesti tunduk pada tata tertib feodal. Tapi, dia telah mengawali.
Dari sepenggal suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer, kita tahu, dia adalah wanita yang berjuang dalam kesunyian di belantara dominasi kekuasaan patriarkal, "Kami akan goncangkan dia (baca: budaya feodal), Bunda, dengan seluruh kekuatan kami, sekalipun hanya sebuah batu saja yang runtuh dan dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia."Â
Kartini tidak sia-sia. Dia berbicara demokrasi, relasi yang egaliter, pendidikan yang adil, serta nilai-nilai universal lain. Dia melampaui permasalahan kultural dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan pada waktu tertentu. Dia juga melampaui peran untuk menjadi penjaga keharmonisan dalam sebuah dinamika rumah tangga.
Kita perlu memaknai kembali bahwa Kartini yang harum namanya bukanlah ia yang putri sejati, seorang bangsawan yang lembut dan tunduk pada dominasi. Ia adalah pahlawan pembebasan untuk melepaskan dari karantina sebagai  'the second sex' (meminjam istilah Simone de Beauvoir) dalam kehidupan nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI