Mengapa Kartini dipingit? Pingit seperti halnya isolasi diri atau karantina, pada waktu itu hanya berlaku bagi perempuan sehingga menjadi sebuah ketidakadilan. Kartini, di era tersebut, merupakan simbol perlawanan tradisi 'pingit'.Â
Meskipun pada akhirnya ia tetap harus menerima 'pingitan', gagasan-gagasannya tidak sia-sia. Usaha-usahanya memberi inspirasi untuk membawa peran perempuan tidak sekedar menjadi pribadi yang mengurus dapur. Namun, konstruksi kultural dan politis malah membawa ingatan kita untuk mengenangnya pada Kartini yang kultural dan untuk kepentingan tujuan politik tertentu.
Kartini yang KulturalÂ
Kartini yang berkebaya dan memakai gelung adalah Kartini seorang Jawa. Dia adalah perempuan yang wajahnya kita kenali dari gambar-gambar atau lukisan-lukisan yang menghadirkan Kartini sebagai perempuan bangsawan. Dan ingatan itu yang tertanam dalam benak kita tentang tokoh yang selalu dikenang di bulan April ini, tepatnya setiap tanggal 21. Mengenang Kartini tak pernah lepas dari ke-Jawa-annya. Dengan demikian, ingatan kita terhadap Kartini dibatasi pada ingatan kultural tersebut. Busana menjadi media komunikatif yang mempertegas bahwa Kartini adalah perempuan pribumi dari Jawa.
Sebagai seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa, dia dilukiskan sebagai seorang yang lembut, halus, dan bersopan santun; sebuah steroetype yang umum disematkan kepada orang Jawa, khususnya bangsawan perempuan Jawa. Barangkali, lagu Ibu Kita Kartini yang mengalun lembut itulah pesona yang mau dihadirkan bagi jiwa seorang Kartini yang lembut, bukan jiwa seorang muda yang menggelora.Â
Kartini, dalam konstruksi ingatan kita adalah  seorang ibu. Ibu kita Kartini adalah metamorfosa dari seorang 'puteri sejati' dan 'puteri yang mulia' karena betapa pun dia melawan kultur aristokrat dengan gagasan brilliannya, dia tetaplah seorang perempuan yang patuh pada orangtuanya dan tunduk pada hegemoni laki-laki dengan bersedia dimadu oleh seorang pilihan ayahnya.
Pilihan kata 'puteri' juga mengkonstruksi ingatan kita bahwa dia berasal dari kalangan istana. Dia ningrat, bukan masayarakat biasa sekalipun mengalir darah kawula alit atau rakyat biasa dari ibunya. Kata 'sejati' dan 'mulia' untuk Kartini seolah-olah ingin menghilangkan jejaknya sebagai perempuan yang sebenarnya darah bangsawannya hanya 50%. Namun, hal itu tidak penting.
Kartini, yang dibesarkan dalam tata cara bangsawan Jawa, menjadi simbol sebuah gagasan tentang emansipasi sekaligus sebuah gerakan melawan dominasi kaum pria. "Panggil aku Kartini saja", katanya dalam salah satu surat yang dikirim kepada Nyonya Abendanon -- yang kemudian dipakai oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai judul novelnya - menunjukkan perlawanannya yang paling berani terhadap budaya patriarkal di lingkungannya.Â
Dia ingin melepaskan gelar kebangsawanannya yang dia anggap menjadikan dirinya terkungkung oleh kekuasaan yang tidak logis, yang membawanya untuk menerima tradisi 'pingitan' (dilarang keluar rumah dalam periode tertentu). Dia juga mempertanyakan tata cara feodal yang menaruh kehormatan manusia atas dasar kebangsawanan seseorang.
Observasi Kartini terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan semula berpangkal dari pengalaman hidupnya dalam lingkup budaya patriarkal Jawa. Di titik inilah kegelisahan Kartini sering kali dianggap lokal. Locus ketidakadilan yang disuarakan Kartini ada di Jawa. Dan kita lupa bahwa sebenarnya, suara Kartini melampaui batasan kultural itu. Kesempatan pendidikan yang tidak adil bagi perempuan, poligami, dan tata tertib lainnya yang secara kultural merugikan perempuan bukan hanya di Jawa.
Kumpulan surat-suratnya yang kemudian menjadi buku "Door Duisternis tot Licht" menunjukkan observasi Kartini yang rapi terhadap banyak hal: tradisi, sastra, pendidikan, ekonomi, dan politik. Namun, kita lebih mudah mengenalnya sebagai perempuan yang menerima 'pingitan' lalu 'dipaksa' menikah dan meninggal di usia muda. Kita terjebak lagi pada hal-hal bersifat kultural.Â