Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca(kan) Cerita ke Anak: Tak Sekadar Ikut Daring

24 Maret 2020   12:29 Diperbarui: 24 Maret 2020   13:26 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi via mojok.co

"Kalau ingin anakmu pintar, bacakan buku cerita; kalau ingin anakmu lebih pintar, bacakan lebih banyak buku cerita."

- Albert Einstein -

Dalam kurang lebih satu minggu ini, ruang percakapan kita dipenuhi ragam informasi pembelajaran daring. Akibat kebijakan yang dianjurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam merespon maraknya penyebaran virus corona, kegiatan belajar mengajar harus dilakukan di rumah. Komunikasi guru-murid paling mungkin dilakukan secara maya melalui pembelajaran daring.

Komitmen untuk terus 'belajar' dalam situasi darurat harus tetap ada. Dalam pengawasan yang minim oleh guru, anak-anak tetap diharapkan untuk terus belajar. Orang tua akan mendampingi anak belajar. Belajar seperti apakah yang diharapkan saat peran guru dan kapasitas pendampingan orang tua minim?

Membaca Cerita Juga Belajar

Dalam riuhnya semangat untuk terus mengajak anak-anak belajar, mungkin kita perlu menyelipkan pesan agar anak-anak membaca cerita. Hampir jarang sekali saya mendapatkan kabar ini. Pembelajaran daring menjadi sebuah euphoria. Pada praktiknya, kita masih bisa bertanya sejauh mana hal ini berlangsung dengan sebuah pertanggunjawaban pedagogis yang meyakinkan.

Saya mengalami, bahwa banyak guru di sekolah dasar masih tidak terbiasa dengan pemanfaatan teknologi informatika dalam praktik pembelajaran. Mengharapkan orang tua untuk menggantikan peran guru juga merupakan suatu kemustahilan. Orang tua akan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Kontrol guru secara regular juga tidak mungkin jika komunikasi yang mainstream dengan orangtua murid masih dengan Whatsapp atau telepon. Lho, kan ada perangkat untuk call meeting seperti zoom call meeting atau aplikasi lainnya? Iya! Tidak semua, bahkan sebagain besar guru tidak mengenalnya.

Kalau begitu, pembelajaran daring memang bukan hal yang mudah untuk menjamin 'sekolah' tetap berlangsung di rumah. Belajar, termasuk secara daring, akan berkutat pada aktivitas mental membaca materi, memahami secara mandiri, dan berlatih menjawab pertanyaan.

Secara psikologis, anak akan menghadapi situasi yang berat saat belajar. Sangat mustahil guru mampu memberi dukungan kepada setiap pribadi dengan menelpon satu-satu memantau aktivitas belajar anak, apalagi membuat meeting kelas secara maya.

Kita perlu memfasilitasi alternatif belajar yang lebih kontekstual, yang mengatasi lemahnya peran guru menggunakan sarana teknologi informasi mutakhir. Mari gunakan yang ada dan optimalkan yang sudah ada. Membaca adalah sebuah aktivitas belajar yang bisa diorganisir dengan lebih mudah. Kita cukup menggunakan Whatsapp.

Kegiatan ini tidak popular, tapi tetap membantu anak belajar. Hal yang perlu dipahami dari kegiatan ini adalah melalui kegiatan tersebut anak-anak masih memiliki aktivitas kognitif. Anak tetep mengasah imaginasinya. Anak masih terlibat dalam berpendapat menanggapi cerita yang dibaca. Di sisi lain, anak bisa mendapatkan hiburan (joyful reading) dari kegiatan tersebut di sela-sela tuntutan belajar yang diminta sekolah atau orang tua.

Belajar itu penting, kapan pun dan di mana pun. Situasi sekarang menjadi nyata  bahwa di rumah menjadi sebuah ruang belajar yang utama bersama keluarga. Tapi, justru kita sedang terperangkap pada sebuah jargon itu. Dalam kondisi khusus ini, kita masih akan 'memaksa' anak untuk belajar model di kelas dengan materi-materi selayaknya kondisi umum di sekolah.

Rumah menjadi sekolah baru jarak jauh dengan seperangkat materi pembelajaran yang telah tersusun dan terjadwal sistematis. Rumah sebagai taman menjadi kehilangan jati dirinya sebagaimana diangankan oleh Ki Hajar Dewantara.

Dengan kegiatan membaca yang diagendakan antara orang tua dan anak, rumah seabgai taman diciptakan. Relasi antara orang tua dan anak dipererat. Ada kedekatan yang bisa dibangun dengan diskusi kecil tentang sebuah cerita anak. Imaginasi anak dihidupkan dan afeksi anak disentuh.

Mempraktikkan Membaca Buku Virtual

Belajar dalam situasi kritis sebaiknya mengajak anak untuk tetap beraktivitas secara mental namun dengan cara yang lebih merdeka. Membaca buku cerita, misalnya. Orang tua bisa mendampingi anak-anak dalam kegiatan ini, baik membacakan cerita atau menemani anak membaca cerita dan mengajak berdiskusi.

Praktisnya, guru bisa mengajak orang tua dalam kegiatan ini dengan mengirim pesan lewat Whatsapp. Misalnya guru share link kepada Whatsapp group orang tua murid sebuah buku cerita virtual dari Let's read atau literacycloud. Dua platform tersebut mnyediakan buku-buku cerita yang cukup bagus. Guru juga bisa mencari dari situs lainnya.

Pesan WA group dari guru bisa seperti ini:

Bapak/Ibu, saya kirim link buku cerita anak. Mohon luangkan waktu 15 menit untuk menemani putra/putri Anda membaca cerita atau Anda membacakan cerita tersebut kepada putra/putri Anda.

Beri panduan apa yang harus dilakukan sebelum membaca. Orang tua diarahkan untuk bertanya kepada anaknya: tanyakan gambar apa saja yang ada di sampul, kaitkan dengan kehidupan anak, beri pertanyaan prediksi apa yang akan terjadi dalam cerita atau yang akan dialami tokoh.  Tiga pertanyaan tersebut dapat diringkas sebagai pertanyaan sampul, pertanyaan koneksi, pertanyaan prediksi.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan misalnya:

Pertanyaan tentang sampul: "Apa yang kamu lihat pada halaman sampul ini?"

Pertanyaan koneksi: "Ada gambar __, kamu pernah melihatnya?", "Apa yang biasanya __ lakukan?"

Pertanyaan prediksi: "Kira-kira apa yang akan terjadi pada si __?"

Kegiatan di atas (kegiatan sebelum membaca) merupakan langkah kita set-up pengetahuan awal tentang buku yang akan dibaca anak. Kita akan menuntun anak terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu sehingga anak tahu akan dibawa ke mana dari kegiatan membaca cerita tersebut.

Pada kegaitan selama membaca, guru minta orang tua untuk membacakan buku dengan berekspresi dan mengunakan gesture. Cara ini dilakukan untuk menjadikan kegiatan membaca menyenangkan bagi anak. Tanyakan pertanyaan prediksi apa yang akan terjadi di dua halaman tertentu yang dari sana mungkin bisa diajukan pertanyaan tersebut.

Contoh pertanyaan prediksi selama membaca:

 "Menurutmu, si __ bisa __?" Atau "Apa yang akan dilakukan si __?"

Terakhir, setelah membaca ajak diskusi. Jangan khawatir dengan istilah diskusi. Secara sederhana orang tua diajak untuk tanya jawan seputar 5W 1H:

"Siapa tokoh utama dalam cerita?"

"Kapan dan di mana terjadinya?"

"Apakah kamu suka ceritanya, mengapa?"

Kondisi ini akan bergantung kelasnya. Anak kelas bawah beri pertanyaan sederhana apa yang menarik dan mengapa. Anak kelas atas bisa diajak berargumen lebih jauh dengan pertanyaan mengapa atau bagaimana. Pertanyaan reflektif baik juga untuk diberikan,

"Kalau kamu jadi X, apa yang akan kamu lakukan?"

Variasi kegaitan bisa dilakukan dengan mengubah aktivitasnya. Orang tua bisa membacakan untuk anak kelas bawah dan mendampingi dan berdiskusi dengna anak kelas atas atau sebaliknya. Kegaitan ini fleksibel, orang tua bisa menyesuaikan dengan kondisi anak.

Fungsi orant tua adalah menemani kegaitan anak. Orant tua tidak perlu menjadi guru yang menerapkan strategi atau pendekatan tertentu dalam kegaitan ini. Apapun jawaban yang diberikan oleh anak, orang tua perlu mengapresiasi. Di sinilah kita memotivasi anak untuk membaca atau belajar.

Hal lain yang perlu dihindari adalah meminta anak menceritakan kembali atau membuat ringkasan cerita. Jika dilakukan, ini justru melemahkan motivasi anak. Anak akan terbebani untuk menghafal atau mengingat apa yang sudah dibaca. Membaca untuk kesenangan tidak terjadi. Pembelajaran juga tidak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun