Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nadiem dan Gotong-royong Pendidikan

12 Maret 2020   22:41 Diperbarui: 13 Maret 2020   19:22 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah maju dalam dunia pendidikan disodorkan lagi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem. Melalui program organisasi bergerak yang diluncurkan pada 10 Maret 2020 (Merdeka Belajar Episode ke-4), Nadiem membuka peluang kepada civil society untuk terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan tanah air. Konsep gotong royong yang mendasari program organisasi bergerak ini tidak sekedar jargon saja.

Telah sering pemerintah menyinggung bahwa tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tidak hanya ada pada pemerintah melainkan juga ada pada masyarakat. Pada kenyataannya, keterlibatan masyarakat masih minim. 

Selama ini, kebijakan dan tata laksana dalam pendidikan ditentukan melalui standardisasi dari pemerintah. Best practice yang dikembangkan atau dihasilkan oleh pihak swasta belum mendapat tempat.  Masyarakat hanya menjadi penonton. Dua hal berikut perlu menjadi perhatian dalam program organisasi bergerak.

Kepemimpinan Pembelajaran

Gotong royong dari konsep pendidikan yang lebih merdeka dari Nadiem menjadi lebih dinamis. Banyak pihak dilibatkan melalui seleksi ketat dan transparan. 

Organisasi penggerak juga menghendaki adanya jaminan dampak terhadap perbaikan pendidikan. Kita semakin berharap bahwa semangat gotong-royong ini berbuah semakin produktif.

Di tengah kaburnya makna gotong-royong, khususnya dalam konteks pendidikan, kehadiran program organisasi bergerak memberi makna kembali kemitraan antara pemerintah dan non-pemerintah. 

Program organisasi bergerak mau membuktikan bahwa kelompok-kelompok masyarakat masih bisa diandalkan untuk berkolaborasi memperbaiki pendidikan.

Best practice di dunia pendidikan tak jarang justru diinisiasi oleh pihak-pihak swasta. Sayangnya, inovasi-inovasi yang dilakukan tidak popular di masyarakat atau pemerintah karena politik pendidikan kita masih berkubang pada standardisasi dari pemerintah beserta administrasinya.

Kini, menjadi momen baik bahwa kinerja di lapangan yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga non-pemereintah bisa bersuara dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Kita perlu meraba-raba mengapa pilihan kata 'penggerak' menyeruak dari konsep Nadiem? Barangkali karena masyarakat kita punya semangat gotong-royong sebagai warisan nenek moyang kita. 

Gotong-royong tidak ada dengan sendirinya. Kebutuhan akan sesuatu yang harus digotong-royongkan memanggil setiap pihak terlibat. Seorang leader atau penggerak perlu hadir dalam gotong royong.

Nadiem ingin kelak dalam rentang waktu 2020-2022 akan ada peningkatan kompetensi kepada 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD, dan SMP agar mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran (instruksional leadership). Momentum merdeka belajar ini menjadi ajang bagi pihak non-pemerintah membangun praktik-praktik baik dalam pembelajaran kepada anak-anak.

Melibatkan mereka berarti memberi harapan bahwa kinerja mereka di bidang pendidikan perlu mendapat apresiasi dan disebarluaskan. Dalam hal literasi, misalnya, banyak lembaga yang telah menginisiasi program-program percepatan peningkatan literasi sebelum periode PISA mengumumkan lemahnya literasi di Indonesia.

Dalam hal sekolah ramah anak atau perpustakaan ramah anak, lembaga-lembaga non pemerintahlah yang terlebih dahulu menginisiasi. 

Organisasi-organisasi tersebut telah membuat perpustakaan sekolah dengan membantu buku-buku yang bagus, melatih guru-guru mengajarkan pembelajaran membaca, dan melibatkan orang tua untuk mendukung minat baca anak.

Revolusi pendidikan Nadiem, kalau boleh disebut begitu, memikirkan sebuah keberlanjutan yang lebih bergairah. Organisasi penggerak akan menggerakkan sekolah-sekolah dengan berpartisipasi menyumbang best practice di tempatnya dan menjadi inspirasi bagi sekolah lainnya di sekitarnya.

Bukannya selama ini sudah ada praktik dengan penciptaan sekolah standar, sekolah model, sekolah rujukan, dan lainnya? Benar. Nyatanya, sekolah tersebut tak kurang dan tak lebih hanya bergelut dengan kegiatan administratif. 

Dengan konsep yang beralih ke organisasi bergerak yang kemudian mengarah pada sekolah penggerak, konsep ini menjadi lebih aktif. Sebelumnya, yang terjadi adalah upaya setiap sekolah memoles diri menjadi cantik secara administartif tapi jauh dari esensi pendidikan per se.

Kemitraan yang Egaliter

Sikap yang diperlukan dalam melakukan gotong-royong adalah sikap ugahari. Konsep ini justru menjadi lebih humanis di tangan Nadiem yang mengajak untuk menjadikan organisasi non-pemerintah bukan sebagai liyan, yang tidak berhak masuk dalam lingkaran tata kolola pendidikan, dan perannya subordintat.

Namun, perkara ini pasti tidak mudah di daerah ketika organisasi-organisasi penggerak ini akan bermitra di kemudian hari. Dinas Pendidikan Daerah perlu juga untuk memahami konsep ini sebagai kolaborasi yang egaliter, yang menjadikan mitra dari non-pemerintah sebagai partner kerja yang setara. 

Seringkali, komunikasi di lingkup instansi pemerintahan masih membawakan diri sebagai pihak yang superior terhadap pihak dari luar lingkungan pemerintahan. Komunikasi dengan pihak non-pemerintah menjadi imperative yang menyembunyikan sikapnya untuk dilayani, bukan sama-sama bekerja.

Organisasi penggerak rupanya bukan semata-mata program yang partisipatif dari masyarakat saja, melainkan program yang diharapkan sustainabilitinya menjanjikan. Tak sedikit organisasi-organisasi yang cukup mapan atau cukup kreatif dalam penggalangan dana. 

Banyak juga donatur dari luar dan dalam negeri yang berbaik hati untuk memberi dukungan bagi program-program di Indonesia melalui NGO (Non Government Organization) baik yang berskala internasional maupun lokal.

Praktik-praktik baik ini seharusnya mendapat sambutan sejak dulu. Nyatanya, di tingkat pusat maupun daerah di mana lembaga-lembaga tersebut memperkenalkan konsep-konsep inovatifnya, sambutannya masih dingin. Sedikit aneh, ego sebagai lembaga pemerintah muncul dengan sikap resisten terhadap pembaruan yang dibuat lembaga non-pemerintah.

Misalnya, konsep pengelolaan perpustakaan ramah anak dalam kinerja lembaga swasta dianggap menyalahi aturan karena memajang buku dengan sampul terlihat di rak buku. 

Menurut ketentuan dari Dinas Perpustakaan Daerah, penataanya miring memperlihatkan punggung buku. Lagi, katalog buku perlu ada di perpustakaan SD. 

Nyatanya, anak-anak tidak akan meminjam buku dengan preferensi tentang judul buku, nama pengarang, penerbit, topik, dll. Anak-anak akan meminjam dari yang ia sukai saat melihat buku (dari gambar sampulnya) yang didisplay di rak-rak buku.

Perbedaan konsep ini justru menunjukkan cara kerja berbasis anak dan berdasarkan riset versus berbasis pragmatisme cara kerja one fits all. Tata kelola perpustakaan sekolah dasar tidak bisa dikelola dengan sistem perpustakaan dewasa.

Organisasi penggerak pada akhirnya memberi ruang yang lebih produktif dan innovatif bagi peningkatan kualitas sekolah yang tidak melulu berurusan pada standardisasi.

Sekolah akan menjadi target dalam program ini. Cara kerja organisasi-organisasi non-pemerintah yang kental dengan konsep pelatihan akan menggeser mekanisme sosialisasi  ide-ide yang fancy dalam dunia pendidikan.

Melalui pelatihan, organisasi-organisasi non pemerintah diharapkan untuk lebih konsisten untuk memberi dukungan lebih lanjut. Kita sering mendengar istilah monitoring dan evaluasi (monev) atau sekarang menggunakan model MLE (monitoring, learning, and evaluation). 

Di lembaga-lembaga non-pemerintah, ini menjadi makanan keseharian untuk melihat progress dan dampak kinerja mereka. Di lingkungan Dinas Pendidikan, kegiatan ini menjadi lebih imperatif dengan melakukan sebuah pengawasan dalam bentuk supervisi.

Komunikasi pada tingkat ini justru menjadikan subyek yang dibina berada subordinat dalam pengawasan orang di level di atasnya (pengawas). Kata 'pengawas' pun juga terdengar imtimidatif dalam komunikasi itu. 

Tak heran, konsep learning (pembelajaran) menjadi redup dalam judgment salah dan benar, mengikuti standar atau tidak, sesuai prosedur atau menyalahi, secara administrative bagus atau cacat.

Perubahan harus bergerak pelan di negeri ini karena pendidikan tak jarang dirasuki muatan-muatan politis. Di era Nadim ini, kita berharap ini menjadi perwujudan demokratisasi di dunia pendidikan. 

Semua elemen masyarakat bisa bergabung dan menajdi bagian yang sama-sama pentingnya dalam mengemban tugas pendidikan. Suasana lambat itu yang diambil momennya saat ini oleh Nadeim dengan pembaruan konsep pendidikan yang nyata-nyata berpihak kepada anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun