Saat Chicago Bulls memenangkan gelar juara ke-6 nya di tahun 1998 saya saat itu duduk di bangku SMP. Seingat saya, kala final antara Chicago Bulls dan Utah Jazz Game ke 6 digelar di Delta Center, Salt Lake City, Utah saya menyempatkan bolos sekolah untuk menonton di Rumah.Â
Keseruan, ketegangan, dan kebahagiaan saat melihat dua Tim yang dominan kala itu ditambah kesempatan melihat salah seorang legenda basket di akhir masa keemasannya membuat saya tak ingin melewatkan pertandingan itu.Â
Legenda itu, yang akhirnya membawa timnya menjadi juara untuk ke-6 kalinya adalah Michael Jordan (MJ). Sebuah nama yang sudah menjadi sinonim dengan permainan basket.Â
Hingga saat ini perdebatan tentang siapa pemain terhebat yang pernah di lapangan basket selalu menempatkan namanya menjadi salah satu kandidat teratas.
Satu hal yang menjadikan MJ sebagai legenda adalah kemampuannya membalikkan suatu klub medioker yang dia datangi di tahun 84 sebagai Rookie, dan menjadikannya juara NBA 6 kali.Â
LeBron James gagal melakukannya di masa pertamanya bersama Cleveland Cavaliers, baru setelah ia mendapatkan gelar juara di NBA di Miami Heat dan kembali ke Cavs, dia bisa memberikan gelar juara.
Cerita tentang MJ juga cerita tentang perjuangan. Dia bukanlah atlet luar biasa sejak bangku sekolah. Di sekolah justru dia tidak bisa masuk anggota inti olahraga basket.Â
Saat awal masuk ke North Carolina pun ia bukanlah seorang pemain yang menonjol. MJ adalah hasil dari proses evolusi.Â
Bahwa seseorang dengan tinggi yang biasa-biasa saja, dengan bakat yang belum terlihat sejak bangku sekolah, bisa menjadi legenda yang namanya akan diingat terus sepanjang Masa.
Dokumenter The Last Dance menceritakan tentang perjalanan Chicago Bulls untuk memperjuangkan gelar juara ke 6 NBA di tahun 1998. Serial dokumenter ini tayang di Netflix dan bisa dinikmati seluruh episodenya saat ini.Â
Episode terakhirnya belum lama dirilis dan mendapat respon baik hampir dari seluruh pecinta film. Sangat jarang kita mendapatkan film dokumenter dengan kedalaman materi dan kualitas bahasan yang sekeren ini.Â
Belum lagi intrik-intrik di dalamnya yang mungkin memberikan pandangan baru bagi kita melihat perjuangan Bulls kala itu.
Yang membuat dokumenter ini wajib menjadi tontonan adalah footage yang menjadi bahan dokumenter ini bisa dibilang langka, kala itu di musim 97- 98 pembuat film diberi akses (hampir) tak terbatas kepada aktifitas tim.Â
Kita bisa lihat bahwa beberapa scene menggambarkan hal yang mungkin biasanya tidak nyaman disampaikan secara resmi di depan media.
Cara bertutur dalam dokumenter ini juga mudah dinikmati. The Last Dance menggabungkan antara scene flashback di berbagai masa dan scene saat ini dimana masing-masing tokoh diinterview di masa kini dan bercerita tentang kejadian-kejadian saat itu.Â
Michael Jordan, Scottie Pippen, Dennis Rodman, Horace Grant, Steve Kerr, Phil Jackson, dan banyak tokoh memberikan interview tentang masa-masa yang unik kala itu.
Musim 97-98 menjadi unik untuk Chicago Bulls karena tahun sebelumnya mereka memenangkan kejuaraan NBA (untuk 2 tahun berturut-turut).
Namun memulai musim dengan polemik yang dibuat oleh Jerry Krause manajer tim kala itu dan Jerry Reinsdorf pemilik tim yang menyatakan akan menyegarkan tim, dimulai dari pelatih hingga ke pemain.Â
Tim yang baru saja memenangkan gelar juara tahun sebelumnya, dirasa tidak mampu untuk menghadapi musim depan oleh manajemen dan diputuskan untuk dirombak. Mulai dari pelatihnya kala itu Phil Jackson.
Saat diumumkan bahwa Phil Jackson akan diganti, pemain berontak, terutama MJ yang dengan lantang mengatakan bahwa dia tidak akan bermain dibawah pelatih selain Phil Jackson.Â
Setelah negosiasi yang alot akhirnya disepakati bahwa Phil Jackson akan kembali melatih Bulls untuk musim 98, dengan catatan bahwa itu adalah musim terakhirnya dengan Chicago Bulls.Â
Selepas musim berakhir Phil harus hengkang. Otomatis musim dijalani dengan bayang-bayang bahwa musim tersebut adalah musim terakhir tidak hanya Phil Jackson tapi juga MJ yang sudah jelas memberikan ultimatum tidak akan bermain dibawah pelatih selain Phil Jackson.
Walaupun berfokus kepada musim 98, film ini juga memberikan gambaran yang komprehensif tentang karir para pemain.Â
Tidak hanya MJ yang diceritakan latar belakangnya, sejak sekolah, kuliah, draft, hingga bergabung di Chicago Bulls. Hampir seluruh pemain inti mendapatkan sorotan yang cukup.
Di film ini kita bisa mendengar cerita tentang Pippen yang mungkin sering terlewatkan ketika membahas Bulls namun perannya sangat krusial di masa-masa keemasan Bulls.Â
Betul bahwa MJ adalah salah satu pemain terbaik sepanjang masa, tapi Ia tidak pernah memenangkan Cincin Juara NBA tanpa ada Pippen disampingnya. MJ sendiri mengatakan dalam dokumenter ini tentang hal itu. Pippen adalah support system terbaik MJ di lapangan.
Begitu juga dengan Dennis Rodman yang memberikan ledakan kekuatan di bawah ring dengan Reboundnya yang luar biasa. Kita juga bisa tau bahwa ternyata, diluar dari tampilannya yang selalu eksentrik, Dennis Rodman adalah salah satu pemain NBA tercerdas.Â
Dia mahir membaca arah bola dan dengan tepat bisa menangkap bola di arah pantulannya. Dia juga mempelajari bagaimana para pemain kunci memiliki kecenderungan sifat lemparan bola yang membuatnya menjadi kekuatan rebound yang tak terkalahkan di masanya.Â
Ya, tentu saja, aksi-aksi 'luar biasanya' seperti mangkir dari latihan untuk tampil di acara gulat WWF juga ditampilkan disini.
The Last Dance juga menampilkan sisi-sisi Manusia dari para Pemain Bulls. Tak terkecuali MJ yang diceritakan memiliki masalah judi yang sempat menghantuinya cukup lama.Â
Pippen yang ngambek saat kontraknya tidak kunjung di review dan Rodman yang mangkir dari latihan untuk pergi ke Las Vegas dan harus dijemput paksa oleh MJ untuk kembali berlatih.
Kisah negatif tentang beberapa pemain dan Bulls saat awal MJ bergabung juga menjadi konflik tersendiri saat film ini akhirnya rilis. Scottie Pippen dan Horace Grant secara terbuka mengatakan ketidaksukaannya terhadap beberapa perkataan MJ dalam film ini (sumber: Kompas.com).Â
Begitu juga perkataan MJ tentang perilaku tim Bulls diawal-awal Ia bergabung, yang Ia katakan diisi dengan mabuk-mabukan dan perilaku negatif lainnya yang sangat Ia hindari selama karirnya, ditentang oleh Horace Grant yang mengatakan MJ sebagai tukang mengadu. (Sumber: tempo.co)
Menonton film ini selama 10 Episode, kita mendapatkan penggambaran MJ yang terus terang tidak semuanya indah. Permainannya di dalam lapangan, apa yang bisa ia sumbangkan kepada olahraga Basket adalah hal yang luar biasa dan tidak ada duanya.Â
Keinginannya untuk menang di setiap pertandingan serta dorongannya untuk selalu bisa memberikan yang terbaik di lapangan adalah dua hal yang menjadikannya legenda.Â
Di luar lapangan, cerita-cerita di film ini memberikan gambaran yang lebih manusiawi tentang seorang MJ.Â
Bagaimana kesukaannya terhadap Judi menyebabkan dia menjadi bulan-bulanan media ditampilkan disini. Begitu juga kesan beberapa rekan setimnya yang memandang MJ sebagai seorang seorang 'jerk'.Â
Menurut saya, penggambaran pribadi MJ dan beberapa pemain lain yang tidak melulu hanya mengambil sisi positif tapi juga mau menunjukkan sisi-sisi gelap seorang bintang, membuat film dokumenter ini menjadi tontonan yang menarik dan sarat makna.Â
Beberapa hal sengaja dibuat menggantung dan diserahkan kepada penonton untuk memutuskan versi mana yang mau kita terima. Seperti di penghujung episode ini, saat keputusan 'pembubaran' tim diambil, MJ dan Jerry Reinsdorf memiliki versi cerita yang berbeda.Â
The Last Dance merupakan dokumenter yang sangat jarang kita temui dan saya sangat merekomendasikan untuk ditonton.Â
Mungkin untuk teman-teman penggemar Utah Jazz atau Indiana Pacers masih ingat kesedihan yang dialami di musim dimana Bulls berjaya. Namun terlepas dari tim mana yang kita dukung saat itu, sebagai sebuah tontonan, film ini keren.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H