Pembahasan RKUHP sendiri sudah mengalami proses panjang, terhitung sejak tahun 1958, sampai dengan saat ini. Penyusunan konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau penggabungan KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Selain itu, proses pembentukkan RKUHP juga memiliki misi untuk mewujudkan dekolonialisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, demokratisasi hukum pidana, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana yang progresif terhadap perkembangan zaman.
Akan tetapi, seiring pelaksanaannya, misi awal RKUHP yang semula untuk merwujudkan dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana, tidak terwujudkan dalam draf terakhir RKUHP. Alih-alih dekolonialisasi, pemerintah dan DPR justru merekolonialisasi kita semua. Kita seolah dijajah oleh RKUHP yang masih diwarnai oleh berbagai pasal berwatak kolonial dan mengancam kebebasan berpendapat. Diantarannya terdapat dalam Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP terkait penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden, dan Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah di media sosial.
Masyarakat Indonesia kembali dibuat bertanya-tanya "Apa urgensi dari pasal-pasal ini?". Pikiran publik terpecah menjadi dua dalam menyikapi dan menyoroti  hal ini. Ada yang menyikapi bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden wajib diadakan karena banyak masyarakat yang kebablasan ditengah jaminan HAM dalam kebebasan berekspresi hingga menjatuhkan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, tetapi ada juga masyarakat yang berargumen bahwa Pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU-KUHP akan berpeluang mengancam kebebasan berekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H