Oleh : Wahyu Hidayat
Perkembangan teologi Islam, yang sering disebut sebagai ilmu kalam, terus berkembang setelah wafatnya Nabi SAW. Proses ini akhirnya menghasilkan berbagai cabang ilmu kalam yang tersebar di berbagai belahan dunia. Sejarah mencatat bahwa perbedaan pemahaman teologi agama setelah wafatnya nabi tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman agama itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi politik-budaya yang melanda berbagai golongan saat itu, terutama setelah Perang Siffin (657 M) antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Perselisihan antara kedua kubu ini melahirkan kelompok-kelompok baru yang memiliki pandangan berbeda mengenai politik dan interpretasi agama. Dari sini, ulama sejarah menyimpulkan bahwa lahirnya ilmu kalam bukan hanya sebagai hasil perkembangan pemahaman teologi Islam, tetapi juga dipengaruhi oleh kepentingan para pengikutnya terhadap ilmu kalam itu sendiri.
Awalnya, ilmu kalam hanya berfokus pada pembahasan tauhid. Namun, seiring perkembangan peradaban Islam, ilmu kalam bertransformasi menjadi kekuatan teologi yang juga mengadopsi referensi dari cabang ilmu filsafat. Ilmu ini disebut ilmu kalam (ilmu bicara) karena pada awal perkembangannya, ilmu ini erat kaitannya dengan kemampuan berargumentasi yang dimiliki para teolog. Setiap golongan ahli kalam memiliki kemampuan untuk menukil, berargumen, dan menyajikan data dari tiga aspek utama: bayani, burhani, dan irfani.
Kemunculan berbagai aliran pemikiran seperti Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyyah, dan lainnya memang berawal dari lahirnya ilmu kalam ini. Muzafarruddin Nadwi mencatat empat masalah pokok yang menjadi fokus utama kajian dalam perkembangan ilmu kalam. Pertama, masalah kebebasan berkehendak, yaitu apakah manusia memiliki kekuasaan untuk bertindak atau tidak, dan apakah manusia bebas dalam memilih kehendaknya. Kedua, masalah sifat Allah, apakah sifat-sifat Allah merupakan bagian dari dzat-Nya atau bukan. Ketiga, batasan iman dan perbuatan, yaitu apakah keimanan dan perbuatan manusia merupakan dua hal yang terpisah atau menjadi satu kesatuan. Keempat, perselisihan antara akal dan wahyu, yang membahas apakah kriteria kebenaran berasal dari akal manusia atau wahyu Allah.
Di balik latar belakang lahirnya ilmu kalam yang telah disebutkan di atas, ilmu ini memang memegang posisi penting dalam perkembangan keilmuan Islam. Terutama ketika ilmu kalam menjadikan dasar filsafat sebagai dasar berpikir. Meskipun ilmu kalam dimulai dengan kajian tauhid, fiqh, dan ilmu ushuluddin, ilmu ini dipandang sebagai benteng untuk membela agama dari berbagai pemahaman yang merusak. Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah menyebutkan bahwa fungsi ilmu kalam adalah untuk membela keyakinan iman dengan dalil-dalil rasional serta membantah para ahli bid'ah yang menyimpang dalam keyakinan mereka dari mazhab salaf dan Ahlus Sunnah. Inti dari keyakinan iman ini adalah tauhid. Dr. Muhammad Saleh Muhammad As-Sayyid berpendapat bahwa ilmu kalam adalah ilmu agama yang penting dalam syariat. Menurutnya, ilmu ini wajib ada di setiap zaman karena membela agama adalah kewajiban yang tak terhindarkan, dan tidak ada zaman yang terbebas darinya. Ini menunjukkan bahwa ilmu kalam memiliki peran sentral dalam menjaga kehormatan agama. Secara umum, ilmu kalam memiliki empat manfaat utama dalam peradaban Islam.
Secara umum, berdasarkan tabel peran ilmu kalam yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam muncul sebagai respons terhadap para ahli bid'ah yang sering berdebat dengan ulama Muslim dan meragukan ajaran yang telah disepakati oleh ulama salaf. Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah merasa perlu untuk merespons, berdiskusi, dan berdebat dengan mereka agar tidak menyesatkan orang-orang lemah dalam agama dan agar tidak memasukkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Jika para ulama membiarkan kelompok-kelompok zindiq ini, mereka akan mampu mempengaruhi banyak pikiran orang lemah, awam, serta sebagian fuqaha dan ulama yang kurang pengetahuan, yang pada akhirnya dapat menyesatkan mereka dan mengubah keyakinan yang benar.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan perkembangan ilmu kalam, yang menjadi inti pembahasan artikel ini. Pertama, peperangan pemikiran dengan budaya asing. Berkembangnya filsafat Barat menyebabkan pengetahuan Islam terhadap ilmu kalam turut berkembang. Banyak filsuf Muslim yang mengadopsi nilai-nilai filsafat Yunani dan Barat. Ilmu kalam merespons hal ini dengan memberikan batasan bahwa ilmu filsafat yang diadopsi oleh para ilmuwan Muslim tidak boleh melampaui batas-batas kaidah Islam. Kedua, perbedaan politik. Hal ini menjadi sebab utama munculnya ilmu kalam yang bermuatan firqah. Perbedaan politik menyebabkan lahirnya paham-paham seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Khawarij, Asy'ariyyah, dan kelompok lainnya. Ketiga, tradisi penerjemahan ilmu. Pada masa kemajuan Islam, khususnya pada masa Abbasiyah, tradisi penerjemahan membawa perkembangan ilmu kalam. Keempat, ayat mutasyabihat. Pembagian ayat-ayat mutasyabihat dan muhkamat justru memunculkan perbedaan penafsiran di kalangan ahli firqah, yang juga menjadi salah satu penyebab perkembangan ilmu kalam. Kelima, sifat akal manusia. Akal manusia yang kritis dan kognitif mendorong perkembangan ilmu kalam menuju puncaknya. Akal menciptakan penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada kepentingan dan logika, yang kemudian melahirkan berbagai produk penafsiran atas fikih, Al-Qur'an, dan hadits.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H