Minggu lalu saya balik ke Jakarta, cuaca cukup panas dan 'nglekep' rasanya. Tapi mungkin karena saya beberapa minggu sebelumnya di area utara Tokyo yang bersuhu masih dingin meski sudah masuk musim semi.
Bagaimanapun Jakarta itu dirindukan juga, saat jalan-jalan di kota orang lain saya hampir selalu terpikir Jakarta. Namun sisi lain, Jakarta memang gila, kendaraannya luar biasa banyak, masalahnya kendaraan pribadinya bukan transportasi umumnya. Mobil keluaran Jepang mendominasi kendaraan Jakarta. Sedang di Jepang sendiri kendaraan tidaklah seramai Jakarta, ya negeri kita memang menjadi negara konsumen. Dari sabun cuci, pembalut wanita, sampai kendaraan. Sayang, ukuran 'kesuksesan' kita masih sering diukur dengan "eh dia sekarang pakai mobil ini lho", dan ucapan ini sering dikeluarkan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi. Aneh. Mungkin juga anda.
Jujur, Jakarta dan kota penyangganya itu sudah "over populated" tidak layak untuk hunian. Sayangnya seluruh kota di Indonesia mempunya typical yang sama. Saya pernah ke Balikpapan sabtu ahad saja dari KL karena penasaran katanya Balikpapan adalah kota yang rapi, tapi tidak seperti yang saya bayangkan. Angkutannya juga semrawut, tata kotanya sama seperti kota lainnya.
Terus masalah waktu, karena macetnya luar biasa, kehidupan di Jakarta habis hanya digunakan di jalan (yang tidak berguna). Berkendara yang normal itu kecepatan 60-80 KM/jam secara konstan. Jika anda berprofesi yang biasa diukur dengan menit atau jam untuk hasil pekerjaan anda, memang "mengelus dada" hanya untuk menuju suatu tempat di Jakarta yang pendek perlu berjam-jam. Belum lagi kurang nyamannya di kendaraan. Dalam kendaraan kita semestinya bisa membaca atau menulis artikel, berpikir, memberikan solusi dari masalah yang kita hadapi. Tapi, di Jakarta kita mesti bergelantungan dan menahan peluh bercucur serta seribu-tigabelas rasa dongkol karena sikap-sikap yang kurang menyenangkan. Terpijak, disenggol tanpa minta maaf, diselip-selip waktu jalan tanpa permisi. Masuk kereta berebut, tangan yang ikut nyikut. Duh!
Sahabat, dan saya sangat sedih ketika mau menuju bandara. Saya melintas jalan yang siang itu ada demo bakar membakar karangan bunga apresiasi. Sudah gila. Sampah terserak.
Apakah Jakarta akan seperti ini selamanya. Bukan pada agama anda, bukan pada ras anda, bukan pula pada kekayaan harta anda. Anda bisa berkaca pada negara lain, bahwa pencapaian kemajuannya karena mereka punya karakter baik yang selalu dipelihara.
Untuk apa kalau kita beragama tapi brutal, agama menjadikan kita orang rajin tapi kita bermalas? Agama menyampaikan informasi sifat Tuhan, Dia Maha Bersih, tapi kita membuang sampah sesuka hati. Untuk apa kita berbangga pada ras, tapi berbuat kasar? Untuk apa kita kaya tapi tidak berbudi pekerti yang merendah hati?
Engkau Sahabatku yang seagama dengan saya maupun yang tidak, saya tidak melihat agama anda. Saya akan menyukai sifat-sifat baik Anda. Dunia ini dihuni manusia yang tidak hanya seagama dengan kita, tapi kita mesti menghargainya. Tidak pula akan selalu satu ras sama Anda, tidak pula akan sebangsa dengan kita. Berkelanalah, Anda akan bisa membandingkan, ambil kebaikan untuk Anda dan bangsa Anda.
Kini jaman makin modern, tapi kita dijejali dengan beragam opini yang menyakitkan dan memisahkan kita. Lebih baik berbalik pada jaman kita nonton wayang, saat Punakawan (Semar and his gang) keluar sekitar pukul 3-4 pagi, lakon dagelan yang memang lucu. Bukan dagelan politik yang membuat kita pecah. Kangen juga Jakarta menjadi Semar City, lucu tapi menghibur. Bukan "keminter" tapi membuat "blinger". Â Jakarta, kau akan bawa kemana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H