Mohon tunggu...
Eka Setija
Eka Setija Mohon Tunggu... -

iam the big fans of Liverpool

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Revolusi PSSI, Harga Mati!

11 November 2016   12:54 Diperbarui: 11 November 2016   19:47 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PSSI didirikan pada 19 April 1930 atas usaha dari Soeratin Sosrosoegondo, seorang kaum terpelajar yang berasal dari Yogyakarta, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan dr. Soetomo. Organisasi ini merupakan salah satu implementasi dari Sumpah Pemuda 1928. Sebuah organisasi yang mewadahi gerakan nasionalisme lewat olahraga terutama sepakbola.

Awal berdirinya PSSI tujuanya ialah mengakomodasi seluruh insan yang berkecimpung dalam olahraga sepakbola, tentunya dengan semangat nasionalismenya. Jika awal-awal berdiri, di dalam organisasi ini tersimpan benih-benih militansi. Sebuah perjuangan kemerdekaan lewat olahraga, dengan adanya organisasi ini diharapkan dapat menjadi wadah perjuangan rakyat.

Organisasi ini mempunyai niat tulus saat era pra-kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan lebih utamanya era orde lama, terlihat dari arah geraknya. Organisasi PSSI benar-benar menjadi corong dari kegiatan olahraga rakyat, tak ayal banyak prestasi yang diperoleh saat orde lama. Dari olimpiade 1956 hingga asian games 1962 mereka selalu menjadi tim yang diperhitungkan, bahkan orde baru masih menikmati hasil dari PSSI orde lama. Tahun 1970 hingga memasuki 1980 Indonesia masih bisa merasakan sebagai tim yang diperhitungakan, selepas itu sepakbola Indonesia mengalami masa-masa kegelapan.

Era orde lama lebih menitikberatkan dalam pengembangan rakyatnya, organisasi PSSI benar-benar menjadi corong rakyat dalam sepakbola. Maka tak heran semakin banyak yang mencintai sepakbola, padahal awalnya sepakbola bukanlah olahraga yang populer. Organisasi yang sehat mempunyai tujuan yang jelas, serta masih mewakili suara-suara rakyat.

Melihat PSSI sekarang ibarat sebuah penyakit, dimana penyakit tersebut makin parah dan tidak bisa dihilangkan. Penyakit itu bernama kolusi, korupsi dan nepotisme, organisasi rakyat yang dipisahkan dari rakyat. Pasca Orde Lama, PSSI dikendalikan secara elitis dan otoriter oleh rezim Orde Baru. Dimana hanya orang-orang tertentu yang mengurus, serta menjauhkan sepakbola dari rakyat. Sepakbola menjadi corong politik Soeharto dan awal dari kapitalisasi dibidang sepakbola yang prematur. Jika melihat organisasi PSSI tak ubahnya menjadi sebuah miniatur dari negara itu sendiri, dimana sifat dan implementasinya sama.

PSSI tidak lagi mewadahi insan sepakbola dan suporter, namun lebih mewadahi para makelar birokrat. Dimana sepakbola menjadi ladang meraup keuntungan dan popularitas. Erat kaitanya dengan politisasi dan agenda pengakumulasian modal pribadi. Kapitalisme prematur inilah yang menjadi momok menakutkan bagi insan sepakbola, dimana dari sifatnya yang menindas serta menghisap para insan sepakbola. Birokrat-birokrat itulah yang untung, suporter dan pemain banyak yang buntung. Sekarang kita lihat?, ada berapa orang yang benar-benar pro-rakyat yang ada di PSSI dan klub anggotanya?. Rata-rata bukan dari kalangan pro-rakyat tapi lebih condong ke birokrat-birokrat penguasa pemerintahan.

Kebijakan yang dibuat selalu atas dasar kelompok yang berkuasa, sehingga bertendensi merugikan terutama bagi insan sepakbola Indonesia. Dari kebijakan yang pro-partai penguasa, hingga kebijakan yang tidak logis. Sehingga mengakibatkan banyak masalah serius. Mulai dari suap, korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah putih yang lainya. Jelas yang dirugikan siapa?, rakyat Indonesia yang cinta akan sepakbola. PSSI adalah anomali dalam demokrasi, sebuah tirani yang hidup dan eksis di era keterbukaan yang demokratis. Secara umum, tak jauh beda dengan organisasi dan lembaga lain yang berafiliasi dengan pemerintah.

PSSI mendapat dana dari rakyat, gelontoran besar menjadikan organisasi ini menjadi jumawa. Mereka mendapat sokongan dari rakyat, namun tidak pernah mau transparan. Malah menciptakan segregasi, bahwa PSSI bukan lembaga pemerintah. Sebagai insan sepakbola Indonesia, itu merupakan sebuah pernyataan yang egois serta otoriteristik. Mereka melupakan sejarah serta darimana mereka hidup selama ini. Jika mereka bukan bagian dari rakyat bola Indonesia, sudah seharusnya kita membuat organisasi baru yang benar-benar mewadahi rakyat. Bukan organisasi yang diisi oleh manusia-manusia penindas.

Sudah saatnya suporter bersatu, menentukan sikapnya. Sepakbola adalah milik kita bukan PSSI!!!!. Kembalikan PSSI pada jalurnya, rebut PSSI dari para mafia. Bekukan, bubarkan dan bangun lagi PSSI yang bervisi kerakyatan sebagaimana Soeratin terdahulu.

Jayalah Sepakbola Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun