Mohon tunggu...
Eka Setija
Eka Setija Mohon Tunggu... -

iam the big fans of Liverpool

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Leicester City Sebagai Teladan

6 Mei 2016   22:31 Diperbarui: 6 Mei 2016   22:42 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alan Shearer dan Chris Sutton mungkin tidak terlalu familiar bagi suporter bola di zamanya. Apalagi di periode 1994-1995 ketika mereka berdua membawa Blackburn Rovers menjuarai Premier League kala itu. Semua elemen dalam sepakbola kala itu, baik stakeholder, komentator, analisator hingga suporter bahkan tidak menyangka jika prediksi mereka akan terpatahkan. Kenny Daglish menjadi sosok sentral dalam keberhasilan Blackburn mematahkan dominasi Liverpool dan Manchester United yang diprediksi sebagai calon kuat juara Premier League. Cerita yang melegenda tersebut seakan tak akan pernah terulang kembali di era sepakbola modern ini, maka tak heran jika keberhasilan Blackburn menjuarai Premier League diasumsikan seperti dongeng Cinderella.

Cerita akan keberhasilan Blackburn Rovers seakan menjadi legenda yang tak akan pernah terulang lagi. Namun di musim 2016 ini cerita tersebut seakan terulang lagi. Siapa yang menyangka tim sekelas Leicester City mampu meruntuhkan dominasi tim-tim papan atas dan mapan. Melihat track record Leicester yang merupakan tim semenjana, sering pulang pergi dari Premier League ke Championship. Berada di dalam kondisi yang tidak memungkinkan mereka mampu menunjukan bahwa filosofi bola itu bulat itu benar adanya. 

Pada musim lalu Leicester City berada di peringkat 14, sangat jauh dari zona uefa maupun champions. Materi pemainpun tidak terlalu bagus, West Morgan, Schemeichel, Mahrez ataupun Vardy, tentunya tidak akan diperhitungkan mampu merangsek naik ke papan atas bahkan untuk ditataran zona UEFA sekalipun. Secara jelas Ranieri pernah berujar di beberapa media "bahwa target kami ialah lolos dari zona degradasi". Namun kenyataanya lain, tim-tim mapan dibuat tidak berkutik sama sekali.

Berdasarkan data statistik rata-rata ball possesion per game Leicester hanya mampu menguasai 47%, sementara secara keseluruhan penguasaan bola mereka hanya 30% termasuk dalam yang terendah di Premier League. Hal tersebut diperparah dengan kemampuan akurasi umpan hanya 73% saja ( http://www.rappler.com/indonesia/114288-premier-league-leicester-city-vs-manchester-united-advancer). Maka sangat mengejutkan sekali jika Leicester mampu memuncaki klasemen bahkan mendekati kenyataan jikalau gelar juara sudah di depan mata.

Ranieri sebagai nahkoda Leicester bisa membuat kejutan yang sangat berarti. Dengan materi pemain yang biasa-biasa dia mampu memaksimalkan potensi pemain. Jamie Vardy dan Mahrez mampu tampil memukau dengan kolaborasi permainan yang bisa dibilang fantastis. Pola permainan Leicester tertumpu pada counter attack, melalui peran pemain tengah yang mampu menjadi penghalau serangan seperti Kante dan Drinkwater. Kunci serangan Vardy cs ialah terlihat dari polanya, mereka membangun serangan mendadak dari sektor sayap dengan cepat. Tentunya bentuk permainan tersebut sangat efektif dan efisien, tanpa menghabiskan banyak waktu mereka langsung menyerang dan menghasilkan peluang untuk menjadi gol.

Banyak sudah yang menjadi korban skema permainan Ranieri, salah satunya Manchester United dan Manchester City, bahkan Arsenal dibuat kesulitan ketika menghadapi Vardy cs. Keteguhan perjuangan Leicester mungkin mengundang decak kagum bagi seluruh insan pecinta bola di dunia ini. Sejarah mencatat gelar juara yang cukup prestis yang digapai Leicester ialah juara League Cup 2 kali pada tahun 1997 dan 2000, kala Martin O'neall  menangani klub tersebut. Pemain bintang yang pernah dimiliki mungkin kita tahu bahwa hanya Garry Lineker dan Gordon Banks yang memiliki kapasitas tersebut, itupun tidak semua semua orang tahu akan hal tersebut. Jadi wajar euforia kemenangan Leicester mampu menyihir banyak kalangan terutama para penggila bola.

Kemenangan Leicester sedikit mencabik-cabik mulut para pengamat. Rata-rata mereka menuturkan bahwa klub dengan dana pas-pasan serta tidak punya tradisi big four, bakal dipastikan akan sulit untuk menjuarai premier league. Kita lihat bersama bagaimana sulitnya Arsenal, Liverpool dan Manchester United untuk mengulangi kejayaannya kembali. Dana besar mereka gelontorkan untuk memboyong pelatih dan pemain berkaliber dunia. Jelas hal tersebut sangat kontradiktif dengan apa yang dilakukan oleh Leicester, mereka tidak perlu banyak uang untuk mendapatkan prestasi. Keyakinan adalah kunci dari mimpi, bahkan dalam mimpi terabstrak-pun tampaknya mereka enggan memikirkan menjadi juara premier league.

Uang adalah segalanya dalam era kapitalisme sepakbola, namun uang tidak bisa membeli keberuntungan. Jika salah satu bursa judi memasang kemungkinan 1:2000 untuk Leicester menjadi juara. Mereka tampaknya berpikir logis, karena seyogyanya target Ranieri hanya bertahan dari relegation zone. Kemenangan Leicester tampaknya akan memotivasi banyak kalangan, baik tim sepakbola, pemain, pelatih dan berbagai insan di dunia ini untuk tidak menyerah dalam berjuang. Selayaknya mimpi banyak anak muda di dunia ini, masih ada kesempatan untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Seperti harapan akan kedamaian dunia, tampaknya tidak mustahil jika benar-benar diperjuangkan. Leicester adalah inspirasi semua orang pada tahun ini. Congratulations The Foxes. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun