[caption caption="tuban"][/caption]
[caption caption="tuban"][/caption]
Tuban merupakan kabupaten yang memiliki catatan historis yang cukup banyak. Dalam buku sejarah umum nama Tuban selalu tercantum dalam setiap topik pembahasan, tentunya dalam berbagai konteks, misal ekonomi. Sejarah telah mencatat berbagai diskursus terkait Tuban, baik zaman awal kerajaan hindu budha ataupun zaman kerajaan islam berkuasa, hingga zaman pasca kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat Tuban sebagai kota pelabuhan, Pelabuhan sendiri menjadi sektor penting bagi kerajaan hindu budha dan islam jika melihat pada konteks zaman tersebut. Secara definitif daerah pelabuhan merupakan wilayah yang memegang akses ke daratan dapat juga diibaratkan sebagai gerbang ke wilayah darat, pelabuhan di zaman tersebut sangat penting untuk sektor perdagangan. Namun jika melihat pada masa sekarang, Kabupaten Tuban tetap terkenal karena sebagai pelabuhan, namun sebagai pelabuhan untuk industri misal Semen indonesia punya pelabuhan sendir atau di wilayah Awar-awar, Jenu, Tuban. Hal tersebut sungguh kontradiktif dengan kondisi masa lampau dimana pelabuhan secara ekonomis dapat menghidupi berbagai elemen masyarakat .
Sektor maritim menjadi sektor yang dekat dengan rakyat Tuban. Sektor ini menjadi lahan untuk mengais rezeki atau sebagai mata pencaharian bagi rata-rata keluarga yang hidup di dekat pesisir pantai utara dan sekitarnya. Secara geografis dari kecamatan Bulu hingga Palang merupakan wilayah pantai dan banyak juga lahan tambak untuk budidaya ikan dan pertanian. Berdasarkan demografi penduduk, dapat dilihat dari sepanjang Bulu dan Palang terdapat perkampungan dengan corak terdapat banyak kapal-kapal kecil yang merupakan kapal nelaya, selain itu juga ada tempat pelelangan ikan sebagai tempat jual beli hasil tangkapan nelayan. Naif memang, jika pemerintah daerah mengesampingkan sektor ini, karena sektor maritim menjadi area penting yang bersinggungan dengan rakyat kecil daripada area industri sendiri.
Nelayan memang tersisih namun mereka tidak sendiri, karena petanipun juga merasakan keresahan yang sama dengan mereka. Petani sekarang ini mulai tersisih secara perlahan, hal tersebut dikarenakan oleh kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah terkait industrialisasi daerah yang sedang gencar-gencarnya, terutama sektor pertambangan semen (karena paling terlihat di Tuban).
Mengapa demikian?. Jika ditelusuri lebih dalam area atau lokasi industri ekstraktif seperti semen berada di persimpangan antara area pertanian dan kelautan. Persinggungan area tersebut dapat dilihat dari lahan yang digunakan untuk pabrik berada di area produktif pertanian, sementara untuk akomodasi bahan baku pendukung pabrik seperti batubara, bahan bakar minyak hingga distribusi bahan baku penunjang produksi kebanyakan dikirim melalui jalur laut. Tidak hanya itu saja pengiriman barang hasil pabrik juga menggunakan sektor laut, tentunya arus lalu lintas kapal-kapal besar akan semakin intensif di area tersebut. Jika dilihat secara seksama, letak pabrik yang bersinggungan di dua area rakyat ini tidak dibangun secara tiba-tiba, namun telah melalui perencanaan yang matang disisi cost (biaya produksi) dan berbagai penghitungan lainya, tentu hal tersebut dilakukan agar proses pra-produksi hingga pasca-produksi lebih efisien dan efektif.
Kehadiran industri di kabupaten Tuban bak jamur yang tumbuh subur, rencana yang telah tersusun rapi memang sudah sesuai dengan pola percepatan pembangunan baik jangka pendek maupun panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang memasukan Tuban sebagai wilayah ekonomi khusus. Dengan dalih menyokong ekonomi nasional, maka pembangunan industri-industri baru di berbagai daerah akan semakin masif. Apalagi berdasarkan pemetaan ekonomi secara nasional Tuban masuk dalam zona ekonomi khusus, tentu dengan pemberian status tersebut, dipastikan ada hubungannya dengan AEC (asena economic community) ataupun TPP (trans pasific partnership) yang semakin mengarah ke agenda globalisasi ekonomi (mengacu pada keikutsertaan Indonesia di G-20). (http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829620bce8bb369593af4aa6c460643b735da)
Disini saya tidak akan membahas zona ekonomi khusus secara mendetail, namun akan sedikit membahas terkait realitas yang terjadi baik secara kasat mata ataupun tidak.
Pembangunan yang dipercepat era Jokowi ini, diawali dengan pemberian paket kebijakan (paket ekonomi) yang semakin mempermudah para investor membangun pabrik-pabriknya, secara implisit kebijakan tersebut merupakan upaya persiapan dalam menghadapi pasar global. Namun sayangnya banyak yang dikorbankan dari lahirnya paket kebijakan ini, salah satunya adalah dampak paket kebijakan ini pada para petani dan nelayan. Alih-alih untuk mensejahterakan banyak golongan, karena secara argumen mereka bilang bahwa penduduk sekitar dapat bekerja di pabrik ataupun dibantu CSR sebagai upaya tanggung jawab sosial, tapi fakta yang terlihat ialah mereka semakin sengsara.
[caption caption="tuban"]
Akibat dari perijinan yang semakin mudah, pembuatan AMDAL yang serampangan dan penuh manipulasi, sangat jauh dari kata sesuai dengan UU no 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Secara tidak langsung harusnya kita mampu melihat, bahwa industri yang ada sekarang inu menguntungkan siapa?.Â
Fakta yang terjadi di lapangan, bahwa rakyat tidak pernah dilibatkan dalam proses kajian soal dampak andanya suatu industri. Pemerintah selalu menjejali rakyat dengan janji kesejahteraan palsu. Hal ini dapat terlihat dari pendidikan rakyat daerah yang tidak merata, serta tidak seriusnya penyadaran atau pendidikan di bidang lingkungan, ekonomi dan politik untuk rakyat. Jelas hal tersebut merupakan upaya pembodohan yang memudahkan proses indoktrinasi pada rakyat. Dampaknya ialah rakyat menjadi apatis dan ada upaya untuk mereduksi budaya gotong royong, sehingga sangat mudah untuk memecahbelah rakyat itu sendiri.
Rakyat nelayan dan petani di Kabupaten Tuban semakin tersisih dalam upaya sepihak dari pemerintah, dengan dalih meningkatkan ekonomi rakyat justru mereka menjerumuskan rakyat ke lubang penindasan era modern. Sektor pertanian dan kelautan merupakan mata pencaharian rakyat, karena keahlian serta merupakan area yang paling dekat dengan sebagian besar rakyat Tuban. Kehadiran indusri yang diatur dengan baik serta tidak berdasarkan keseimbangan pembangunan akan menghadirkan dampak yang merugikan. Tidak salah memang jika melihat proses indutrialisasi yang sekarang ini sangat serampangan dan ngawur.Â
Implikasi dari industrialisasi yang serampangan ialah kapal-kapal nelayan semakin jarang melaut karena sulitnya akses. Kerusakan alam menjadi penyebab yang menjauhkan mereka dari ikan-ikan, selain itu aktivitas pelabuhan juga menjadi faktor utama yang meresahkan para nelayan. Apalagi sektor ini juga tak tersentuh oleh pengembangan UMKM, kalau adapun hanya setengah-setengah. Kondisi tersebut diperburuk dengan mahalnya bahan bakar, hingga tidak adanya bantuan yang berkesinambungan, semakin menjadikan sektor kelautan ini suram. Dampak dari adanya industrialisasi ini tidak hanya menyengsarakan sektor kelautan, namun juga pertanian yang akan lenyap di tanah mereka sendiri. Petani semakin resah karena lahan mereka menjadi sasaran untuk pembangunan indusri. Apalagi dengan tipu muslihatnya mereka semakin mudah membodohi para petani dengan janji palsu. Selain itu proses produksi juga menjadi sorotan, dampak kerusakan lingkungan akan berpengaruh pada praktek produksi para petani, misal air untuk irigasi, ataupun hutan untuk penyeimbang. Selain itu limbah juga menjadi catatan tersendiri, misal Semen Indonesia atau semen-semen lainya membawa limbah debu dan limbah lainya, namun sayangnya sampai saat ini belum ada yang benar-benar berani mengungkapnya.
[caption caption="tuban"]
Jelas ini menjadi dilematika tersendiri bagi sebagian rakyat yang menyadarinya, bahkan yang tidak menyadari akan merasakan, karena itu merupakan proses alamiah dalam identifikasi diri dengan kondisi lingkungan yang aktual. Melihat realitas tersebut sejenak kita dapat menganalisis dan merenungi setiap ketidakadilan yang terjadi. Dalam sebuah pembangunan seyogyanya memikirkan implikasi serta konsekuensi ke depan dan tentunya implikasi pada kondisi yang aktual. Namun pemerintah pusat maupun daerah tidak memperhitungkan implikasi dan konsekuensinya. Pemerintah hanya memikirkan implikasi dan konsekuensi dalam konteks ekonomi, bagaimana dia untung, memperoleh pengaruh dan apakah relasi bisnis mereka juga untung (praktek oligopoli kekuasaan). Secara umum memang dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah yang diwakili oleh mereka yang mengaku mewakili, lebih memilih keuntungan daripada kesejahteraan rakyatnya dan kelestarian lingkungan hidup.
Sekarang pertanyaan dasar untuk yang membaca artikel ini, masihkah mengesampingkan politik?. Jika meminjam istilah Njoto politik itu adalah panglima. Salam lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H