Fakta yang terjadi di lapangan, bahwa rakyat tidak pernah dilibatkan dalam proses kajian soal dampak andanya suatu industri. Pemerintah selalu menjejali rakyat dengan janji kesejahteraan palsu. Hal ini dapat terlihat dari pendidikan rakyat daerah yang tidak merata, serta tidak seriusnya penyadaran atau pendidikan di bidang lingkungan, ekonomi dan politik untuk rakyat. Jelas hal tersebut merupakan upaya pembodohan yang memudahkan proses indoktrinasi pada rakyat. Dampaknya ialah rakyat menjadi apatis dan ada upaya untuk mereduksi budaya gotong royong, sehingga sangat mudah untuk memecahbelah rakyat itu sendiri.
Rakyat nelayan dan petani di Kabupaten Tuban semakin tersisih dalam upaya sepihak dari pemerintah, dengan dalih meningkatkan ekonomi rakyat justru mereka menjerumuskan rakyat ke lubang penindasan era modern. Sektor pertanian dan kelautan merupakan mata pencaharian rakyat, karena keahlian serta merupakan area yang paling dekat dengan sebagian besar rakyat Tuban. Kehadiran indusri yang diatur dengan baik serta tidak berdasarkan keseimbangan pembangunan akan menghadirkan dampak yang merugikan. Tidak salah memang jika melihat proses indutrialisasi yang sekarang ini sangat serampangan dan ngawur.Â
Implikasi dari industrialisasi yang serampangan ialah kapal-kapal nelayan semakin jarang melaut karena sulitnya akses. Kerusakan alam menjadi penyebab yang menjauhkan mereka dari ikan-ikan, selain itu aktivitas pelabuhan juga menjadi faktor utama yang meresahkan para nelayan. Apalagi sektor ini juga tak tersentuh oleh pengembangan UMKM, kalau adapun hanya setengah-setengah. Kondisi tersebut diperburuk dengan mahalnya bahan bakar, hingga tidak adanya bantuan yang berkesinambungan, semakin menjadikan sektor kelautan ini suram. Dampak dari adanya industrialisasi ini tidak hanya menyengsarakan sektor kelautan, namun juga pertanian yang akan lenyap di tanah mereka sendiri. Petani semakin resah karena lahan mereka menjadi sasaran untuk pembangunan indusri. Apalagi dengan tipu muslihatnya mereka semakin mudah membodohi para petani dengan janji palsu. Selain itu proses produksi juga menjadi sorotan, dampak kerusakan lingkungan akan berpengaruh pada praktek produksi para petani, misal air untuk irigasi, ataupun hutan untuk penyeimbang. Selain itu limbah juga menjadi catatan tersendiri, misal Semen Indonesia atau semen-semen lainya membawa limbah debu dan limbah lainya, namun sayangnya sampai saat ini belum ada yang benar-benar berani mengungkapnya.
[caption caption="tuban"]
Jelas ini menjadi dilematika tersendiri bagi sebagian rakyat yang menyadarinya, bahkan yang tidak menyadari akan merasakan, karena itu merupakan proses alamiah dalam identifikasi diri dengan kondisi lingkungan yang aktual. Melihat realitas tersebut sejenak kita dapat menganalisis dan merenungi setiap ketidakadilan yang terjadi. Dalam sebuah pembangunan seyogyanya memikirkan implikasi serta konsekuensi ke depan dan tentunya implikasi pada kondisi yang aktual. Namun pemerintah pusat maupun daerah tidak memperhitungkan implikasi dan konsekuensinya. Pemerintah hanya memikirkan implikasi dan konsekuensi dalam konteks ekonomi, bagaimana dia untung, memperoleh pengaruh dan apakah relasi bisnis mereka juga untung (praktek oligopoli kekuasaan). Secara umum memang dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah yang diwakili oleh mereka yang mengaku mewakili, lebih memilih keuntungan daripada kesejahteraan rakyatnya dan kelestarian lingkungan hidup.
Sekarang pertanyaan dasar untuk yang membaca artikel ini, masihkah mengesampingkan politik?. Jika meminjam istilah Njoto politik itu adalah panglima. Salam lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H