Mohon tunggu...
Wahyu Dwi Martiningdyah
Wahyu Dwi Martiningdyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PPG Prajabatan 2022 Universitas Negeri Semarang

Seorang ibu rumah tangga yang bercita-cita sesuai passion, yaitu mengajar. Yang sedang mengikuti program beasiswa pemerintah, PPG Prajabatan Katagori 1 Tahun 2022 di LPTK UNNES. Hobi membaca, kuliner dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melepas Belenggu Masa Kolonial untuk Pendidikan Nasional

6 November 2022   12:35 Diperbarui: 6 November 2022   12:40 5034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan nasional merupakan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam proses mencapai pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut, ada perjalanan sejarah yang panjang dalam pendidikan nasional itu sendiri. Sebelum kemerdekaan Indonesia, ada belenggu yang menjadikan bangsa ini, khususnya dalam belajar. Pada masa penjajahan hingga saat ini masih banyak terjadi polemik dalam bidang pendidikan. Padahal pendidikan adalah kebutuhan yang mendasar dari suatu bangsa untuk meningkatkan harkat dan martabat suatu bangsa.

Pada masa kolonial sekitar tahun 1854, beberapa bupati berinisiatif membuka sekolah. Namun tidak semua rakyat bisa mengenyam pendidikan, terlebih kaum wanita. Pendidikan pada saat itu di didasarkan pada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan kelas sosial. Dengan kata lain akses pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kalangan orang Belanda dan priyayi saja, tidak berlaku untuk rakyat jelata.

Pendidikan pada masa itu hanya sebatas membaca, menulis, dan menghitung seadanya, tidak ada unsur pemeliharaan benih-benih kebudayaan. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah Belanda mendirikan sekolah atau pengajaran kepada pribumi tidak untuk memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri melainkan untuk melatih beberapa orang calon pegawai bagi dinas pemerintahan Belanda. Jadi, kesimpulannya bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran pada waktu itu hanya diarahkan kepada calon pegawai saja untuk keuntungan Belanda itu sendiri, bukan membentuk sistem pendidikan nasional.

Lalu pada tahun 1908 lahirlah Organisai Boedi Oetomo, tujuan dari organisasi tersebut adalah menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat serta arah organisasi sebagai organisasi yang berfokus pada pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan (Wikipedia). Setelah itu pada tahun 1912, pemerintah Belanda mendirikan Yayasan Kartini (Kartini Vereneging) yang hanya menerima murid perempuan priyayi Jawa saja. Yang mana di tahun 1928, keadaan Sekolah Kartini ini mulai mengalami perubahan. Keterlibatan perempuan dalam kebangkitan nasional mulai memengaruhi kebijakan sekolah. Perempuan pribumi mulai dilibatkan untuk mengajar dan menjadi pengurus di sekolah tersebut.

Dan pada tahun 1920 lahirlah cita-cita baru untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran. Terbentuklah sekolah taman siswa pada tahun 1922 oleh Ki Hajar Dewantara sebagai gerbang emas kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa. Sekolah yang didirikan oleh beliau dapat menerima murid dari semua kalangan, baik ningrat maupun rakyat biasa. Darisinilah beliau mulai dikenal dengan semboyannya Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani yang hingga kini masih dikenal sebagai semboyan pendidikan nasional. Selain itu beliau juga menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Menurutnya pendidikan merupakan pondasi untuk mecapai kebudayaan yang kita impikan.

Berdasarkan filsafat Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah perubahan. Pendidikan harus berubah menurut perkembangan zaman. Sedangkan kebudayaan harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya dalam menciptakan sebuah pendidikan nasional yang dicita-citakan bangsa perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Menjadikan manusia merdeka masih digemborkan-gemborkan pada saat ini, khususnya pada bidang pendidikan. Pemerintah melalui Kemendikbud-Ristek selalu membuat modifikasi terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah menerapkan Kurikulum Merdeka. Alasan dari perubahan atau pengembangan kurikulum di Indonesia ini adalah melihat dari kondisi pendidikan saat ini dan berdasar pada filsafat Ki Hajar Dewantara yang telah kita bahas di awal. Peserta didik harus mendapatkan perlakuan yang sama, maksudnya adalah ketika ada peserta didik yang berbeda maka tidak boleh dianggap aneh. Maka dari itu guru harus memahami karakter peserta didik sehingga kebutuhan peserta didik dapat terpenuhi dengan baik.

Lalu dari segi objek pembelajaran kurikulum sebelumnya hanya terpusat pada guru, materi hanya terpaku pada buku dan yang diutamakan adalah materi harus disampaikan dan terselesaikan oleh peserta didik tanpa tahu apakah peserta didik itu paham dengan baik atau tidak mengenai materi tersebut, serta peserta didik dipaksa untuk bisa mengerjakan tugas atau pembelajaran yang diberikan guru. Selain itu pula, prestasi dan ketercapaian hasil belajar peserta didik hanya terpaku pada nilai akhir atau raport, tanpa mempertimbangkan bagaimana pengembangan karakter dan proses belajar dari peserta didik selama itu.

Sebagai calon guru profesional langkah awal yang dapat kita lakukan untuk melepaskan 'belenggu' pada Pendidikan Indonesia dalam upaya mewujudkan pendidikan yang memerdekakan peserta didik dimulai dari adanya pembaharuan, melalui implementasi Kurikulum Merdeka. Mengapa pembaruan tersebut dirasa mampu melepaskan belenggu? Karena guru di sekolah merupakan tombak perubahan yang dapat dicontoh oleh peserta didik itu sendiri, selain itu sekolah merupakan tempat yang tepat dimana peserta didik mendapatkan pembelajaran yang memuat nilai-nilai merdeka itu sendiri. Lewat pengenalan dan penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam kegiatan di sekolah, dapat menanamkan sikap yang sesuai dengan kebudayaan nasional yang merupakan cita-cita bangsa.

Dalam Kurikulum Merdeka ini semua kegiatan berpusat pada peserta didik. Memberi kebebasan atas apa yang mereka mau lakukan dan mereka mau dapatkan. Artinya, dalam pembelajaran mulai dari proses perencanaan pelaksanaan pembelajaran, guru harus tahu karakteristik peserta didiknya. Dari analisis tersebut, guru mampu menyusun rencana yang sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik, mengetahui kesiapan peserta didik dalam menerima pembelajaran dan mengelola proses kegiatan belajar mengajar dengan melibatkan peserta didik secara aktif sesuai minat, bakat dan potensi peserta didik itu sendiri. Dengan begitu peserta didik akan merasa senang dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah. Inilah arti dari merdeka belajar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan tugas kita sebagai guru adalah mampu untuk menjadi guru yang revolusioner, berbudi luhur dan professional agar dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia hebat, cerdas, memiliki karakter yang baik, mampu mengembangkan minat dan bakatnya sesuai dengan kemampuannya, dan juga berbudaya dengan cara yang merdeka tanpa adanya paksaan atau tekanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun