Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) bekerjasama dengan peneliti Arkeologi Balai Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian sejarah jejak-jejak peninggalan jalur rempah di Pulau Saparua. Penelitian ini dipimpin oleh Wahyu Djoko Sulistyo, S.Pd, M.Hum. dengan fokus visualisasi jejak-jejak jalur rempah di Pulau Saparua.Â
Menurut ketua peneliti selama ini telah banyak penelitian mengenai peninggalan arkeologi jalur rempah di Pulau Saparua akan tetapi pengetahuan tersebut cenderung tidak sampai kepada masyarakat. Oleh karena itu pihaknya bersama tim melakukan penelitian visusalisasi jejak jalur rempah melalui pembuatan film dokumenter.
                                                     Â
Tim berangkat menuju lokasi penelitian dari Kota Ambon selasa (16/08). Perjalanan menuju Pulau Saparua ditempuh menggunakan perjalanan darat dan kapal dari kota Ambon selama 4 jam. Bersama dengan Lucas Watimena M.Si peneliti arkeologi BRIN dan tim penelitian dari UM mengeksplorasi setiap sudut Pulau.Â
Berdasarkan data penelitian terdahulu yang telah dikumpulkan sebelumnya tim peneliti memetakan berbagai macam peninggalan berkaitan dengan jalur rempah.Â
Terdapat beberpa peninggalan yang akan divisualisasikan menjadi film dokumenter antara lain bangunan seperti benteng, rumah dan baileu (balai adat) dan peninggalan non fisik seperti nilai sosial masyarakat saparua.
Pada hari pertama penelitian tim berfokus pada beberapa benteng yang ada di Pulau Saparua. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Ambon terdapat empat Benteng yang ada di Pulau Saparua yakni Benteng Duurstede, Ouw, Delf dan Holandia. Akan tetapi sayangnya setelah tim menuju lokasi sisa-sisa benteng Delf dan Holandia sudah tidak dapat ditemukan kembali.Â
Tim hanya mendapatkan gambar dari benteng Ouw. Bersama dengan penduduk lokal tim mendokumentasikan sisa-sisa bangunan benteng Ouw yang kondisinya sudah tidak terawat.
Hari kedua penelitian bertepatan pada upacara kemerdekaan 17 Agustus. Bersamaan dengan hal tersebut di Benteng Durstede diadakan upacara bendera yang diikuti oleh pelajar TNI-POLRI dan aparat pemerintahan Kecamatan Saparua.Â
Tim mendokumentasikan setiap sudut Benteng Durstede yang sudah dipugar dengan baik. Benteng ini berdiri dengan kokoh diatas batu karang dengan tembok keliling yang cukup luas. Beberapa sudut benteng masih dapat ditemui meriam besar yang dihiasi logo VOC.
Selain mengeksplorasi benteng tim peneliti juga mengeksplorasi aspek sosial kultural masyarakat Saparua yang terbentuk melalui sejarah panjang jalur rempah. Sebagai pusat produksi cengkeh VOC, Pulau Saparua merupakan tempat persilangan budaya antara penduduk lokal dengan bangsa eropa. Silang budaya tersebut berupa pola kagamaan, cara hidup, pola sosialisasi dan kebiasaan bercocok tanam.
Tim peneliti berkunjung ke Desa Boi salah satu negeri (sebutan desa di Saparua). Di desa ini tim melakukan wawancara dengan penduduk lokal. Sebagai penghasil cengkeh dan pala desa Boi tergolong unik karena akses jalan berupa tangga sehingga tidak ada akses untuk kendaraan masuk.Â
Selain itu terdapat tradisi unik tentang panen hasil rempah. Setiap penduduk yang memiliki maupun tidak memiliki kebun dapat memperoleh hasil panen. Buah yang jatuh dari pohon adalah milik bersama sehingga siapapun dapat mengambil tanpa perlu izin.
Bersama dengan visualisasi jejak-jejak jalur rempah di Pulau Saparua tim peneliti berharap informasi sejarah rempah dapat lebih "membumi". Melalui film dokumenter yang nantinya dihasilkan masyarakat dapat mengetahui keindahan dan nilai sejarah Pulau Saparua. Dengan demikian kesadaran sejarah dapat terwujud dan muncul kepedulian untuk tetap melestarikan nilai bangsa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H